Feeds RSS

Sunday, July 1, 2007

sosialisasi profesi

SOSIALISASI PROFESIONAL KEPERAWATAN

Oleh: Ns.Maridi MD, M.Kep.


Sosialisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses dimana seseorang (a) belajar menjadi anggota sebuah kelompok atau masyarakat dan (b) belajar aturan-aturan sosial tentang arti hubungan ke dalam kelompok atau masyarakat dimana ia akan masuk (Kozier, Erb dan Blais,1997).

Sosialisasi meliputi belajar tentang tingkah laku, perasaan dan melihat dunia (orang) lain dalam suatu pandangan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dimana orang tersebut menempati peran yang sama dalam posisi tersebut.

Tujuan sosialisasi profesianal adalah untuk menanamkan norma, nilai, sikap dan tingkahlaku yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan sebuah profesi.

Suatu aspek instrinsik dari proses sosialisasi adalah sosial kontrol yaitu kapasitas dari sebuah kelompok soaial untuk mengatur atau meregulasi dirinya sendiri melalui penyesuaian diri dan ketaatan terhadap norma kelompok untuk mempertahankan perintah atau keinginan kelompok social atau organisasi tersebut. Sangsi digunakan untuk memaksa menjalankan norma. Penghargaan atau reward adalah sangsi positif bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri terhadap norma yang belaku di kelompok sosial tersebut dan begitupun sangsi hukuman atau punishment digunakan terhadap mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di organisasi atau kelompok sosial tersebut.

Sosialiasi profesional meliputi pemaparan terhadap berbagai agen sosialiasi. Agen sosialisasi adalah orang yang memulai proses sosialisasi seperti anggota keluarga, guru, anak dari pemberi pelayanan, kelompok dan media masa.

Nilai-Nilai kritis dari Keperawatan Profesional.

Di dalam program pendidikan keperawatan seorang perawat mengembangkan, mengklarifikasi dan menginternalisasikan nilai-nilai professional. Nilai-nilai professional keperawatan yang spesifik dinyatakan dalam kode etik keperawatan dan standar praktek keperawatan. Watson (1981, dikutip oleh Kozier, Erb dan Blais, 1997) secara garis besar mengemukanan nilai-nilai kritis professional keperawatan:

1. Suatu komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada publik
Keperawatan adalah suatu bantuan dan pelayanan humanistic diarahkan terhadap kebutuhan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Peran perawat dalam hal ini berfokus pada kesehatan dan pelayanan keperawatan. Perawat bertangungjawab untuk mengkaji dan mempromosikan status kesehatan semua manusia, perlu menilai kontribusinya terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga care dan caring adalah pusat inti dan esensi dari keperawatan. Perawat juga perlu menilai aspek caring dari keperawatan.

2. Mengakui martabat dan menghargai setiap orang
Karena profesi keperawatan yang berorientasi pada orang, suatu pengakuan dasar dan penghargaan setiap orang berdasarkan nasionalitas, ras/ warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, kelas social dan status kesehatan merupakan dasar dalam keperawatan. Penerapan dalam praktik keperawatan berarti bahwa perawat selalu melakukan tindakan dengan perhatian baik bagi kliennnya.

3. Suatu komitment terhadap pendidikan
Hal ini berarti seorang perawat perlu melanjutkan pendidikan keperawatannya untuk mempertahankan dan memperluas tingkat kompetensi yang dimilikinya untuk memenuhi kriteria professional, mengantisipasi peran perawat dimasa yang akan datang dan memperluas body of professional knowledge. Perawat secara kritis harus mempertanyakan pengetahuan dan praktik keperawatnnya untuk mendorong dirinya berkontribusi dalam pengembangan dasar teori keperawatan dan mengetes teori tersebut dalam praktik keperawatan.

4. Otonomi
Otonomi diartikan sebagai hak untuk menentukan diri sendiri sebagai profesi. Watson menyatakan bahwa seorang perawat harus mempunyai kebebasan untuk menggunakan pengetahuannya dan ketrampilannya untuk kebaikan manusia dan kewenangan dan kemampuan untuk melihat pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang aman dan efektif.

Memulai Proses Sosialisasi Profesional Keperawatan.

Memulai sosialisasi berarti menyiapkan mahasiswa keperawatan untuk bekerja dilapangan pekerjaan yang sebenarnya. Beberapa model telah dikembangkan untuk menjelaskan memulai proses sosialisasi dalam peran professional. Setiap model merupakan suatu seperangkat rangkaian atau mata rantai kejadian, dimulai pada peran orang awam dan diakhiri dengan peran orang seorang professional

Model Simpson
Ida Harper Simpson (1967) secara garis besar membedakan menjadi 3 bagian dari fase sosialisasi professional. Fase yang pertama, seseorang berkonsentrasi dan menjadi cakap dalam tugas yang spesifik. Fase kedua, seseorang menjadi akrab dengan orang lain atau kelompok yang dilayani dalam bekerja. Fase ketiga, seseorang menginternalisasi nilai kelompok professional dan mengadopsi tingkah laku yang disyaratkan.

Model Hinshaw
AdaSue Hinshaw (1986) memberikan model umum sosialisasi professional menjadi 3 fase yang diadaptasi dari Model Simpson. Selama fase pertama, individu merubah image peran dari dari menyiapkan atau mengantisipasi konsep ke peran yang diharapkan dimana seseorang yang berada dalam tatanan pelayanan sesuai standar yang ada. Hinshaw mengatakan bahwa: (a) orang dewasa yang masuk dalam suatu profesi harus siap belajar sejumlah peran dan nilai yang membantu mereka mengevaluasi peran barunya, (b) individu ini secara aktif terlibat dalam proses sosialisasi, yang mengharuskan memilih peran baru yang diharapkan dan masuk dalam proses sosialisasi.

Fase kedua mempunyai dua komponen: (a) belajar mengakrabkan diri dengan orang lain dalam suatu system dan pada saat yang sama (b) mereka melabel situasi yang tidak sesuai antara peran yang diantisipasinya dan yang ditunjukan oleh orang lain.Dalam proses memlulai proses sosialisasi professional, orang lain yang disini biasa kelompok di fakultas, ditatanan pekerjaan, mereka memilih sejawat tertentu. Hinshaw mwnwkankan pentingnya modelperan yang tepat baik di saat program pendidikan dan ditatanan pekerjaan. Pada tahap ini, seseorang dapat mengungkapkan bahwa tingkah laku peran yang diinginkan tidak sama dengan apa yang telah diantisipasinya. Ini merupakan suatu tahap dimana sering menyebabkan reaksi emosial yang kuat kepada seperangkap peran yang diharapkan yang ternyata terjadi konflik dengan apa yang diantispasinya. Resolusi konflik yang sukses sangat tergantung pada keberadaan model peran yang mendemontrasikan tingkah laku yang tepat dan menunjukan bagaimana standar system konflik dan nilai dapat diintegrasikan.

Pada fase ketiga, seseorang menginternalisasikan bila dan standar dari peran yang baru. Derajat nilai dan standar yang di internalisasikan sangat bervariasi.Kelman (1961) mendefinisikan tiga tingkat orientasi nilai. Seseorang dapat mendemontrasikan salah satu atau keseluruhan tiga tingkatan ini.
 Pemenuhan (compliance). Seseorang menunjukan tingkah laku yang diharapkan untuk mendapatkan reaksi yang positif dari orang lain tetapi tidak menginternalisasi nilai tersebut. Memenuhi tingkah laku yang diharapkan dapat berkurang jika respon positif yang diberikan tidak lama.
 Identifikasi (identification). Seseorang secara selektif mengadopsi tingkah laku peran yang spesifik yang diterima semua orang. Seseorang hanya menerima tingkahlaku yang diharapkan dari pada menerima nilai secara keseluruhan. Tingkah laku identifikasi biasanya berubah jika orang yang menjadi model peran juga berubah.
 Internalisasi (internalization). Seseorang percaya dan menerima standardari peran barunya. Standar tersebut menjadi salah satu bagian dari suatu system nilai seseorang.

Model Davis
Fred davis (1966) menggambarkan enam tahapan proses doktrin pada mahasiswa keperawatan.

Tahap pertama: Kemurnian awal (initial innoncence). Saat mahasiswa masuk dalam suatu program professional, mereka mempunyai suatu image apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan bertindak atau bertingkah laku. Mahasiswa keperawatan biasanya masuk pada suatu program pendidikan dengan orientasi pelayanan dan berharap melihat seseorang setelah mengalami sakit. Sementara itu, pengalaman pendidikan biasanya akan berbeda dengan apa yang mahasiswa keperawatan harapkan. Selama fase ini, mahasiswa mengalami kekecewaan dan frustrasi terhadap pengalaman yang dialaminya dan mungkin mereka bertanya tentang nilai atau keyakinan dirinya.

Tahap kedua: Melabel ketidakcocokan yang ditemukan (labeled recognition of incongruity). Pada fase ini mahasiswa memulai mengidentifikasi, mengartikulasi dan membagi masalahnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya. Mereka akan membentuk kelompok dan membagi masalahnya dalam kelompok tersebut.

Tahap ketiga dan keempat: Penjiwaan dan stimulasi peran (Psyching out and role stimulation). Inti dari tahap ini, kerangka dasar kognitif untuk menginternalisasi nilai-nilai professional keperawatan memulai tertanam. Mahasiswa mulai mengidentifikasi tingkah laku dimana ia dapat diterima dan menunjukan hal tersebut serta mencari model peran dan mempraktikan tingkah laku tersebut. Dalamistilah yang digunakan oleh Davis adalah psyching out (penjiwaan). Hal ini akan lebih efektif jika stimulasi peran dilakukan, dan lebih baik lagi jika seseorang tersebut mempercayai tingkah laku tersebut dan hal ini merupakan bagian dari orang tersebut. Tetapi, terkadang mahasiswa merasakan ia sedang “memainkan suatu permainan” dan merasa “tidak benar untuk dirinya” sehingga mengakibatkan perasaan bersalah dan asing.

Tahap kelima: Internalisasi sementara (provision internalization). Pada tahap kelima ini, mahasiswa bimbang antara komitmen terhadap image yang mereka buat tentang keperawatan dan kinerja tingkah laku barunya terhadap image professional. Faktoryang akan meningkatkan image baru mahasiswa adalah suatu peningkatan kemampuan untuk menggunakan bahasa professional dan suatu peningkatan identifikasi dengan role model professional.

Tahap kelima: Internalisasi stabil (Stable internalization). Dalam tahap keenam, tingkah laku mahasiswa keperawatan mencerminkan model pendidikan dan professional yang dapat diterima oleh pofesi. Bagaimanapun, penyiapan mahasiswa pada tatanan kerja hanya merupakan proses sosialisasi. Nilai baru dan tingkahlaku akan dibentuk lagi ditempat kerja. Banyak faktor yang dapat menfasilitasi proses sosialisasi. Faktor tersebut adalah:
 Kejelasan dan consensus dimana occupan dan aspiran (mahasiswa) menerima atau merasakan peran dan posisinya.
 Derajat kecocokan dengan seperangkat peran yang ada termasuk pada semua orang yang terlibat seperti staf perawat, kepala ruangan, doter, klien dan keluarganya serta kerabatnya.
 Pembelajaran yang dilakukan sebelum memasuki pada posisi tertentu
 Kemampuan seseorang yang sedang melakukan sosialisasi untuk memanage proses sosialisasi.
 Model peran yang mendemontrasikan karakteristik yang diharapkan dan dapat meningkatkan internalisasi suatu kualitas peran yang dikaguminya.
 Orientasi yang dikembangkan dengan baik atau program intensif yang mungkin melibatkan preceptor (misalnya guru/ dosen)
 Dukungan kelompok terhadap orang baru untuk berbagi masalah tentang posisi yang baru.
Readmore »»

Wednesday, June 27, 2007

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Oleh: Ns. Maridi M. Dirdjo. M.Kep. & Bidan Emy S. Maridi


Pendahuluan
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau dysfunctional uterine bleeding (DUB) merupakan penyebab tersering perdarahan vagina abnormal pada seorang wanita usia produktif. Diagnosis PUD ditegakkan hanya bila penyebab organik atau struktural penyebab perdarahan vagina dapat disingkirkan (Dodds & Sinert, 2001).

Perlu dibedakan antara Perdarahan uterus disfungsional (PUD) dengan perdarahan uterus abnormal (PUA) lainnya. PUA mempunyai penyebab yang bervariasi, beberapa diantaranya memang tidak berbahaya. Tetapi jika PUA ini berhubungan dengan perubahan hormonal yang secara langsung mempengaruhi siklus menstruasi, kondisi ini disebut dengan PUD (Ayer dan Lappin & Liptok). PUD dikarakteristikan perdarahan yang lama dan banyak dengan atau tanpa diselingi penghentian perdarahan (Vilos, Lefebvre & Graves, 2001).

Pengertian
Perdarahan uterus disfungsi (PUD) adalah suatu perdarahan pervagina yang terjadi selama siklus menstruasi dimana terjadi perubahan hormonal dengan atau tanpa ovulasi (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diases 4 Mei 2005; Ayers, Lappin & Liptok).

Etiologi dan Faktor Risiko
PUD adalah diagnosa ekslusi, yang artinya baru bisa ditentukan setelah penyebab perdarah uterus abnormal yang lain (seperti penyakit sistemik, obat-obatan, kelainan awal kehamilan, gangguan makan, infeksi ginekologi, kelainan struktural atau tumor) telah dapat disingkirkan.

Siklus dimana tidak terjadi ovulasi berhubungan dengan berbagai manifestasi perdarahan. Perdarahan putus estrogen (estrogen withdrawal bleeding) dan perdarahan karena penghentian sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding) adalah penyebab yang sering diketemukan di klinik. Perdarahan yang diinduksi oleh tidak terjadinya ovulasi sering terjadi selama pengobatan konstrasepsi oral, pemberian obat progestin saja, atau terapi pengganti steroid pada postmenopause.

Pada perndarahan karena penghentuan sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding), terjadi siklus tidak ovulasi sehingga tidak terbentuk korpus luteum. Progesteron tidak diproduksi. Endometrium secara terus menerus mengalami proliliferasi dibawah pengaruh estrogen yang tidak ada lawannya (yaitu progesteron). Akhirnya perdarahan yang tidak teratur yang mungkin lama dan berat. Pola ini dikenal dengan estrogen breakthrough bleeding dan terjadi dalam keadaan estrogen yang tidak pernah turun.

Pada perdarahan akibat diputusnya terapi estrogen. Ini biasanya pada wanita ada fase akhir dari kehidupan produktifnya. Pada wanita yang tua, lamanya rata-rata siklus menstruasi memendek disebabkan oleh karena fase proliferasi yang memendek. Ovarium pada wanita tua ini mensekresi lebih sedikit estradiol. Turun naiknya kadar estradiol menyebabkan proliferasi endometrium yang tidak cukup dengan terjadinya pengeluaran dara menstruasi yang tidak teratur. Perdarahan yang dialami oleh wanita tua ini biasanya spotting ringan dan tidak teratur.

Perdarahan yang terjadi akibat pemberian obat kontrasepsi oral, sediaan obat progestin saja, dan terapi steroid pengganti pada wanita postmenopause berhubungan dengan perdarah uterus yang diinduksi secara iatrogenik. Perdarahan akibat penghentian sementara progesteron terjadi dalam keadaan dimana rasio yang tinggi progestin terhadap estrogen. Perdarahan yang intermiten dengan durasi yang bervariasi dapat terjadi padapasien yang mendapat terapi dengan sediaan kontasepsi orang yang hanya berisikan progrestin saja, depo-medroxyprogesteron dan depo-levonogestrel.

PUD sering terjadi pada tahun pertama setelah menache (periode mens pertama) dan pada wanita yang mendekati menopause (berhentinya peride menstruasi). Sekitar 20 % PUD pada masa remaja (adolescent) dan 40 % pada wanita yang lebih dari 40 tahun, sisanya terjadi pada wanita yang obesitas, wanita olah ragawan berat, dan wanita yang mengalami stress emosional (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005).

Wanita usia remaja (biasanya kurang dari 20 tahun) dan wanita yang berumur lebih dari 40 tahun berisiko terjadi PUD karena kelompok ini terjadinya awal dan akhir dari kehidupan reproduksinya, sehingga sering terjadi ketidakseimbangan hormonal dan sering tidak terjadi ovulasi. Wanita yang obesitas berisiko terjadi PUD karena yang terlibat dalam ovulasi tidak dapat menggunakan dengan mudah tumpukan lemak yang ada. Pada wanita dengan olah raga yang berat sering terjadi PUD karena mereka tidak mempunyai cukup lemak tubuh untuk membentuk hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi. Stress dapat meningkatkan ketidakseimbangan hormonal termasuk hormonal yang terlibat dalam peristiwa ovulasi.

Karena PUD merupakan diagnosis inklusi, maka penyeban PUD yang lain harus disingkirkan. Penyebab perdarahan vagina lainya yang harus disingkirkan misalnya patologi organ multipel yang meliputi: trombositopenia, hipothyroid, hiperthyroid, penyakit hati, hipetensi, diabetes melitus dan kelainan kelenjar adrenal. Kehamilan juga dapat meyebabkan perdarahan vagina. Trauma pada serviks, vulva atau vagina dapat menyebabkan perdarahan abnormal. Karsinoma pada vagian, servik, uterus dan ovarium harus menjadi pertimbangan jika didapati perdarahan abnormal pervagina. Perdarahan abnomal dapat terjadi juga pada kelaianan struktural seperti kistaovarium, servisitis, endometritis, salpingitis, dan leiomyomas. Penyakit polikistik ovarium, infeksi vagina, polip vagina, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, diskrasia darah, obesitas dan olahraga berat serta stress dapat meningkat terjadinya perdarahan abnormal.

Fisiologi Mentruasi
Untuk mengerti lebih mendalan tentang perdarah uterus abnormal termasuk didalamnya PUD, ada baiknya kita meninjau ulang siklus mentruasi yang normal. Kelenjar pituitari (hipofise) mensekresi follicle stimulating hormone (FSH) yang merangsang uterus untuk mematangkan sel telur di dalam suatu folikel dan untuk memulai produksinya estrogen. Adanya estrogen menyebabkan lapisan uterus terjadi proliferasi.

Pada saat kadar estrogen mencapai puncaknya, kelenjar pituitari mengeluarkan Luteinizing hormone (LH), yang merangsang folikel untuk mengeluarkan sel telur. Folikel tadi sekarang disebut dengan korpus luteum, memulai memproduksi progesteron untuk membuat lapisan pada uterus (endometrium) yang digunakan untuk persiapan implantasi sel telur di uterus. Empat belas hari setelah sel telur dikeluarkan kadar progesteron menurun secara dramatis. Menstruasi terjadi jika sel telur tidak difertilisasi.

Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21 – 35 hari dengan lama menstruasi 2 – 7 hari. Darah yang hilang selama siklus mentruasi normal ini sekitar 30 – 80 cc, dengan darah yang keluar agak banyak selama 2 hari. Menorraghia adalah istilah pengeluaran darah/ perdarahan yang berlebihan dalam suatu interval normal. Metrorrahgia adalah perdarahan atau mentruasi yang tidak teratur atau terlalu sering. Menometrorraghia adalah perdarahan atau mentruasi yang berlebihan pada interval yang tidak teratur.

Patofisiologi
Sekitar 90% dari PUD terjadi akibat anovulasi dan sekitar 10% yang terjadi bersama dengan siklus ovulasi. Selama siklus tidak ovulasi (anovulatiry), korpus luteum gagal dibentuk, yang menyebabkan kegagalan dalam memelihara siklus sekresi progesteron yang normal. Hal ini mengakibatkan berlanjutnya produksi estradiol yang tanpa penghambat, sehingga terjadi pertumbuhan yang berlebihan pada endometrium. Tanpa progesteron , endometrium berproliferasi dan akhirnya terjadi kekurangan suplai darah, yang menyebakan nekrosis dan akhirnya terjadi menstruasi yang banyak.

Pada PUD ovulasi, pemanjangan produksi progesteron menyebabkan peluruhan endometrium yang tidak teratur. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kadar estrogen yang rendah secara konstan yang ada disekitar tempat perdarahan. Hal ini menyebabkanbagian endometrum mengalami degenrasi dan menghasilkan spotting. Progesterol menyebabkan perubahan enzimatik dari estradiol menjadi estron, suatu estrogen yang kurang kuat. Akhirnya hanya terjadi PUD yang ringan.

Riwayat Kesehatan, tanda dan gejala
Riwayat kesehatan pasien harus didapatkan untuk mendapatkan data yang mendukung adanya PUD. Pasien diduga mengalami PUD jika pasien mengalami perdarahan banyak atau sedikit meskipun hasil pemeriksaan panggul normal. Riwayat reproduksi harus selalu digali, termasuk hal-hal berikut: keteraturan menstruasi, periode menstruasi terakhir termasuk banyaknya dan lamanya, riwayat kehamilan dan melahirkan, riwayat abortus sebelum atau riwayat pengakhiran kehamilan yang terakhir, kontrasepsi yang digunakan. Pertanyaan tentang riwayat medis meliputi: penyakit diabetes melitus, hipertensi, hipothyroidisme, hiperthyroidisme, penyakit hati dan penggunaan obat-obatan seperti antikoagulan, aspirin, antikonvulsan, dan antibiotik.

Pasien sering mengeluh aminorea, oligomenorea, menoragia ata metroragia. Tanykan pada pasien perbandingan jumlah pembalut atau tampan yang digunakan perhari dengan pada saat keadaan siklus menstruasi yang normal. Seringkali, perdarahan yang banyak diikuti dengan tanda dan gejala hipovolemia yang meliputi hipotensi, takikardia, diaporesis (keringat banyak) dan pucat. Pasien biasanya tidak merasakan nyeri dikaitan dengan perdarahan yang terjadi dan simptom sistemik jarang dijumpai kecuali pada perdarahan vagina karena penyebab organik.
Pemeriksaan fisik dimulai yang diarahkan pada status volume cairan tubuh pasien dan derajat anemia pasien. Periksa adanya kepucatan terutama pada konjuntiva, tangan dan bibir. Pasien yang mempunyai hemodinamik yang stabil dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan speculum dan pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan penyebab perdarahan vagina klien. Pemeriksaan harus melihat hal-hal berikut: trauma, benda asing, laserasi pada vagina atau servik atau perdarahan dari uterus. Abnormalitas struktural pada uterus atau ovarium harus dicatat pada pemeriksaan bimanual.

Pasien dengan patologi hematolgi biasanya mengalami perdarahan dibawah kulit. Temua fisik biasanya meliputi petekia, purpura, dan perdarah mukosa mulut atau perdarahan gusi merupakan tanda tambahan selain terjadinya perdarahan pervagina. Pasien dengan penyakit hati biasanya memberikan simptom tambahan seperti spider angioma, palmar eritema, splenomegali, asites, jaundis (kuning) dan asteriksis.

Wanita dengan penyakit ovarium polikistik biasanya bersama dengan tanda hiperandrogenisme yang meliputi: hirsutisme, obesitas dan pembesaran ovarium yang dapat dipalpasi. Thyroid yang hiperaktif atau hipoaktif dapat menjadi penyebab ketidakteraturan mentruasi. Pemeriksaan diarahkan pada kelenjar thyroid. Disamping itu pada pasien hiper atau hipothiroid dapat menunjukan tanda gejala tertentu. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk menegtahui adanya exopthalmus, tremor, perubahan tekstur kulit (biasanya lebih kasar), termasuk adanya peningkatan atau penurunan berat badan. Bianya ditemukan adanya Goiter pada leher pasien

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, serum HCG (untuk menyingkirkan adanya kehamilan), tes fungsi thyroid terutama pemeriksaan hormon regulasi: seperti prolatin, kadar androgen, FSH dan LH.

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah biopsi endometrium, Dilatasi dan curetage (D & C), USG panggul dan hysteroskopi.

Pengobatan
Pemilihan pengobatan sangat tergantung pada penyebab, beratnya perdarahan dan status fertilitas pasien, kebutuhan terhadap obat kontrasepsi oleh pasien dan fasiltas pengobatan atau tindakan yang tersedia ditempat tersebut (Mayeaux, 2000).

Pada kasus perdarahan yang akut, berat dan tidak terkontrol dapat ditangani dengan estrogen intravena. Pil kontrasepsi oral dapat diberikan pada pasien yang mengalami PUD yang sedang. Jika pasien dalam keadaan mengkonsumsi pil kontrasepsi oral (PKO) tetapi mengalami PUD, ganti PKO dengan yang mengandung estrigen lebih tinggi. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah medroxyprogesterone (provera), obat antiinflamasi non steoid, danazol (danocrine), dan agonis GnRH gosrelin asetat (Zoladex), Leuprolide asetat (Lupron) atau nafarelin asetat (Syneral). Tindakan pembedahan meliputi: dilatasi dan Curetage (D & C), ablasi endometrial, hysteroskopik transcervical resection endometrium atau hysterektomy. Pilihan yang relatif efektif menjadi pertimbangan.

Prognosis
Regulasi hormonal biasanya berhasil menurunkan simptom. Induksi ovulasi pada wanita yang menginkan kehamilan mempunyai kesuksesan pada 80% kasus (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005)

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PUD ini adalah:
Infertilitas sebagai akibat dari tidak terjadinya ovulasi
Anemia berat sebagai akibat perdarahan menstruasi yang banyak dan lama
Lamanya terbentuknya lapisan uterus mungkin sebagai faktor berkembangnya menjadi kanker endometium



SUMBER RUJUKAN


Ayers, D.M., Lappin, J.E.S, & Liptok, L.M., Abnormal vs dysfunctional uterine bleeding¸ What’s difference? A guide to women’s health.

Dodds, N., & Sinert, R., Dysfunctional uterine bleeding, http://www.emedicine.com/%20topic155.htm, diakses 4 Mei 2005.

Desease- Dysfunctional uterine bleeding (DUB), http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005.

Mayeaux, E.J., (2000). Dysfunctional uterine bleeding, dalam Guideline for managing Dysfunctional uterine bleeding, Mamsi health Plans. http://www.mamsi.com/

Queenan, J.T., & Whitman-Elia, G., Last Update (20 Desember 2004) Dysfunctional uterine bleeding, http://www.emedicine.com/med/topic2353, diakses 4 Mei 2005

Vilos, G.A., Lefebvre, G., & Grave, G.R., (august, 2001). Guidelines for the management of abnormal uterine bleeding. SOGC Clinical Practice Guidelines No. 106. august 2001 Readmore »»

Kritik dan Saran

SILAHKAN ISI SARAN ATAU PERTANYAAN ANDA...!


Nama
E-mail
Homepage Anda
Komentar/saran








Readmore »»