Feeds RSS

Sunday, July 1, 2007

sosialisasi profesi

SOSIALISASI PROFESIONAL KEPERAWATAN

Oleh: Ns.Maridi MD, M.Kep.


Sosialisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses dimana seseorang (a) belajar menjadi anggota sebuah kelompok atau masyarakat dan (b) belajar aturan-aturan sosial tentang arti hubungan ke dalam kelompok atau masyarakat dimana ia akan masuk (Kozier, Erb dan Blais,1997).

Sosialisasi meliputi belajar tentang tingkah laku, perasaan dan melihat dunia (orang) lain dalam suatu pandangan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dimana orang tersebut menempati peran yang sama dalam posisi tersebut.

Tujuan sosialisasi profesianal adalah untuk menanamkan norma, nilai, sikap dan tingkahlaku yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan sebuah profesi.

Suatu aspek instrinsik dari proses sosialisasi adalah sosial kontrol yaitu kapasitas dari sebuah kelompok soaial untuk mengatur atau meregulasi dirinya sendiri melalui penyesuaian diri dan ketaatan terhadap norma kelompok untuk mempertahankan perintah atau keinginan kelompok social atau organisasi tersebut. Sangsi digunakan untuk memaksa menjalankan norma. Penghargaan atau reward adalah sangsi positif bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri terhadap norma yang belaku di kelompok sosial tersebut dan begitupun sangsi hukuman atau punishment digunakan terhadap mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di organisasi atau kelompok sosial tersebut.

Sosialiasi profesional meliputi pemaparan terhadap berbagai agen sosialiasi. Agen sosialisasi adalah orang yang memulai proses sosialisasi seperti anggota keluarga, guru, anak dari pemberi pelayanan, kelompok dan media masa.

Nilai-Nilai kritis dari Keperawatan Profesional.

Di dalam program pendidikan keperawatan seorang perawat mengembangkan, mengklarifikasi dan menginternalisasikan nilai-nilai professional. Nilai-nilai professional keperawatan yang spesifik dinyatakan dalam kode etik keperawatan dan standar praktek keperawatan. Watson (1981, dikutip oleh Kozier, Erb dan Blais, 1997) secara garis besar mengemukanan nilai-nilai kritis professional keperawatan:

1. Suatu komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada publik
Keperawatan adalah suatu bantuan dan pelayanan humanistic diarahkan terhadap kebutuhan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Peran perawat dalam hal ini berfokus pada kesehatan dan pelayanan keperawatan. Perawat bertangungjawab untuk mengkaji dan mempromosikan status kesehatan semua manusia, perlu menilai kontribusinya terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga care dan caring adalah pusat inti dan esensi dari keperawatan. Perawat juga perlu menilai aspek caring dari keperawatan.

2. Mengakui martabat dan menghargai setiap orang
Karena profesi keperawatan yang berorientasi pada orang, suatu pengakuan dasar dan penghargaan setiap orang berdasarkan nasionalitas, ras/ warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, kelas social dan status kesehatan merupakan dasar dalam keperawatan. Penerapan dalam praktik keperawatan berarti bahwa perawat selalu melakukan tindakan dengan perhatian baik bagi kliennnya.

3. Suatu komitment terhadap pendidikan
Hal ini berarti seorang perawat perlu melanjutkan pendidikan keperawatannya untuk mempertahankan dan memperluas tingkat kompetensi yang dimilikinya untuk memenuhi kriteria professional, mengantisipasi peran perawat dimasa yang akan datang dan memperluas body of professional knowledge. Perawat secara kritis harus mempertanyakan pengetahuan dan praktik keperawatnnya untuk mendorong dirinya berkontribusi dalam pengembangan dasar teori keperawatan dan mengetes teori tersebut dalam praktik keperawatan.

4. Otonomi
Otonomi diartikan sebagai hak untuk menentukan diri sendiri sebagai profesi. Watson menyatakan bahwa seorang perawat harus mempunyai kebebasan untuk menggunakan pengetahuannya dan ketrampilannya untuk kebaikan manusia dan kewenangan dan kemampuan untuk melihat pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang aman dan efektif.

Memulai Proses Sosialisasi Profesional Keperawatan.

Memulai sosialisasi berarti menyiapkan mahasiswa keperawatan untuk bekerja dilapangan pekerjaan yang sebenarnya. Beberapa model telah dikembangkan untuk menjelaskan memulai proses sosialisasi dalam peran professional. Setiap model merupakan suatu seperangkat rangkaian atau mata rantai kejadian, dimulai pada peran orang awam dan diakhiri dengan peran orang seorang professional

Model Simpson
Ida Harper Simpson (1967) secara garis besar membedakan menjadi 3 bagian dari fase sosialisasi professional. Fase yang pertama, seseorang berkonsentrasi dan menjadi cakap dalam tugas yang spesifik. Fase kedua, seseorang menjadi akrab dengan orang lain atau kelompok yang dilayani dalam bekerja. Fase ketiga, seseorang menginternalisasi nilai kelompok professional dan mengadopsi tingkah laku yang disyaratkan.

Model Hinshaw
AdaSue Hinshaw (1986) memberikan model umum sosialisasi professional menjadi 3 fase yang diadaptasi dari Model Simpson. Selama fase pertama, individu merubah image peran dari dari menyiapkan atau mengantisipasi konsep ke peran yang diharapkan dimana seseorang yang berada dalam tatanan pelayanan sesuai standar yang ada. Hinshaw mengatakan bahwa: (a) orang dewasa yang masuk dalam suatu profesi harus siap belajar sejumlah peran dan nilai yang membantu mereka mengevaluasi peran barunya, (b) individu ini secara aktif terlibat dalam proses sosialisasi, yang mengharuskan memilih peran baru yang diharapkan dan masuk dalam proses sosialisasi.

Fase kedua mempunyai dua komponen: (a) belajar mengakrabkan diri dengan orang lain dalam suatu system dan pada saat yang sama (b) mereka melabel situasi yang tidak sesuai antara peran yang diantisipasinya dan yang ditunjukan oleh orang lain.Dalam proses memlulai proses sosialisasi professional, orang lain yang disini biasa kelompok di fakultas, ditatanan pekerjaan, mereka memilih sejawat tertentu. Hinshaw mwnwkankan pentingnya modelperan yang tepat baik di saat program pendidikan dan ditatanan pekerjaan. Pada tahap ini, seseorang dapat mengungkapkan bahwa tingkah laku peran yang diinginkan tidak sama dengan apa yang telah diantisipasinya. Ini merupakan suatu tahap dimana sering menyebabkan reaksi emosial yang kuat kepada seperangkap peran yang diharapkan yang ternyata terjadi konflik dengan apa yang diantispasinya. Resolusi konflik yang sukses sangat tergantung pada keberadaan model peran yang mendemontrasikan tingkah laku yang tepat dan menunjukan bagaimana standar system konflik dan nilai dapat diintegrasikan.

Pada fase ketiga, seseorang menginternalisasikan bila dan standar dari peran yang baru. Derajat nilai dan standar yang di internalisasikan sangat bervariasi.Kelman (1961) mendefinisikan tiga tingkat orientasi nilai. Seseorang dapat mendemontrasikan salah satu atau keseluruhan tiga tingkatan ini.
 Pemenuhan (compliance). Seseorang menunjukan tingkah laku yang diharapkan untuk mendapatkan reaksi yang positif dari orang lain tetapi tidak menginternalisasi nilai tersebut. Memenuhi tingkah laku yang diharapkan dapat berkurang jika respon positif yang diberikan tidak lama.
 Identifikasi (identification). Seseorang secara selektif mengadopsi tingkah laku peran yang spesifik yang diterima semua orang. Seseorang hanya menerima tingkahlaku yang diharapkan dari pada menerima nilai secara keseluruhan. Tingkah laku identifikasi biasanya berubah jika orang yang menjadi model peran juga berubah.
 Internalisasi (internalization). Seseorang percaya dan menerima standardari peran barunya. Standar tersebut menjadi salah satu bagian dari suatu system nilai seseorang.

Model Davis
Fred davis (1966) menggambarkan enam tahapan proses doktrin pada mahasiswa keperawatan.

Tahap pertama: Kemurnian awal (initial innoncence). Saat mahasiswa masuk dalam suatu program professional, mereka mempunyai suatu image apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan bertindak atau bertingkah laku. Mahasiswa keperawatan biasanya masuk pada suatu program pendidikan dengan orientasi pelayanan dan berharap melihat seseorang setelah mengalami sakit. Sementara itu, pengalaman pendidikan biasanya akan berbeda dengan apa yang mahasiswa keperawatan harapkan. Selama fase ini, mahasiswa mengalami kekecewaan dan frustrasi terhadap pengalaman yang dialaminya dan mungkin mereka bertanya tentang nilai atau keyakinan dirinya.

Tahap kedua: Melabel ketidakcocokan yang ditemukan (labeled recognition of incongruity). Pada fase ini mahasiswa memulai mengidentifikasi, mengartikulasi dan membagi masalahnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya. Mereka akan membentuk kelompok dan membagi masalahnya dalam kelompok tersebut.

Tahap ketiga dan keempat: Penjiwaan dan stimulasi peran (Psyching out and role stimulation). Inti dari tahap ini, kerangka dasar kognitif untuk menginternalisasi nilai-nilai professional keperawatan memulai tertanam. Mahasiswa mulai mengidentifikasi tingkah laku dimana ia dapat diterima dan menunjukan hal tersebut serta mencari model peran dan mempraktikan tingkah laku tersebut. Dalamistilah yang digunakan oleh Davis adalah psyching out (penjiwaan). Hal ini akan lebih efektif jika stimulasi peran dilakukan, dan lebih baik lagi jika seseorang tersebut mempercayai tingkah laku tersebut dan hal ini merupakan bagian dari orang tersebut. Tetapi, terkadang mahasiswa merasakan ia sedang “memainkan suatu permainan” dan merasa “tidak benar untuk dirinya” sehingga mengakibatkan perasaan bersalah dan asing.

Tahap kelima: Internalisasi sementara (provision internalization). Pada tahap kelima ini, mahasiswa bimbang antara komitmen terhadap image yang mereka buat tentang keperawatan dan kinerja tingkah laku barunya terhadap image professional. Faktoryang akan meningkatkan image baru mahasiswa adalah suatu peningkatan kemampuan untuk menggunakan bahasa professional dan suatu peningkatan identifikasi dengan role model professional.

Tahap kelima: Internalisasi stabil (Stable internalization). Dalam tahap keenam, tingkah laku mahasiswa keperawatan mencerminkan model pendidikan dan professional yang dapat diterima oleh pofesi. Bagaimanapun, penyiapan mahasiswa pada tatanan kerja hanya merupakan proses sosialisasi. Nilai baru dan tingkahlaku akan dibentuk lagi ditempat kerja. Banyak faktor yang dapat menfasilitasi proses sosialisasi. Faktor tersebut adalah:
 Kejelasan dan consensus dimana occupan dan aspiran (mahasiswa) menerima atau merasakan peran dan posisinya.
 Derajat kecocokan dengan seperangkat peran yang ada termasuk pada semua orang yang terlibat seperti staf perawat, kepala ruangan, doter, klien dan keluarganya serta kerabatnya.
 Pembelajaran yang dilakukan sebelum memasuki pada posisi tertentu
 Kemampuan seseorang yang sedang melakukan sosialisasi untuk memanage proses sosialisasi.
 Model peran yang mendemontrasikan karakteristik yang diharapkan dan dapat meningkatkan internalisasi suatu kualitas peran yang dikaguminya.
 Orientasi yang dikembangkan dengan baik atau program intensif yang mungkin melibatkan preceptor (misalnya guru/ dosen)
 Dukungan kelompok terhadap orang baru untuk berbagi masalah tentang posisi yang baru.
Readmore »»