Feeds RSS

Tuesday, July 21, 2009

PENATALAKSANAAN KEMOTERAPI YANG AMAN

Ns. Maridi MD, M.Kep

A. Latar belakang

Indonesia pada saat ini tengah mengalami perubahan pola penyakit, dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, stroke, hipertensi, myocard infark, kanker dan lain-lain. Data yang akurat tentang kanker di Indonesia sampai saat ini belum ada, yang jelas menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 memperlihatkan 6% kematian di Indonesia diakibatkan oleh kanker.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk terapi kanker. Dalam dunia kesehatan, kanker umumnya diobati dengan tiga jenis (modalitas) pengobatan yaitu operasi, radioterapi dan kemoterapi. Ada satu jenis lagi yang juga sedang dikembangkan yaitu imunoterapi/ bioterapi.

Kemoterapi merupakan salah satu cara pengobatan kanker dengan memberikan obat atau zat yang berkasiat membunuh sel kanker. Para ahli mengakui bahwa kemoterapi mempunyai kemampuan untuk memperpanjang hidup pasien (Power & Polovich, 2004), meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan harapan untuk pengobatan jutaan orang yang terkena kanker (Wade III, Goldstein, Nystrom, Presan, Rausch, 1997, ASCO, 2004). Kemoterapi bermanfaat bagi penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, kanker testis, leukemia, limfoma pada anak, kanker payudara, kanker ovarium, kanker paru jenis small cell serta multiple mieloma. Sementara itu kemoterapi hanya berfungsi paliatif pada kanker nasofaring, kanker prostat, kanker pada leher dan kepala dan kanker paru non-small cell. Kemoterapi kurang diandalkan manfaatnya pada kasus kanker jaringan lunak, melanoma dan kanker kolon.
Kemoterapi dapat digunakan dalam bentuk adjuvant therapy yaitu kemoterapi yang diberikan setelah dilakuan terapi modalitas lainnya (operasi, radioterapi). Neo adjuvant therapy yaitu kemoterapi yang diberikan sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi ukuran tumor sehingga mudah dioperasi (Otto,1997).

PERINGATAN
Bekerja dengan atau dekat dengan obat-obat berbahaya di tatanan kesehatan dapat menyebabkan ruam kulit, kemandulan, keguguran, kecacadan bayi, dan kemungkinan terjadi leukemia dan kanker lainnya (NIOSH, 2004)

Obat-obat yang digunakan sebagai kemoterapi dikenal dengan golongan sitostatika. Penelitian farmasi terus dilakukan sehingga macam obat juga semakin banyak lagi, Sebagai contoh obat adjuvant kemoterapi untuk kanker kolon terus berkembang dalam lima tahun terakhir. Obat tradisional yang sering digunakan adalah fluorouracil yang selalu dikombinasikan dengan oabt-obat kemoterapi baru seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin dan obat-obat target organ seperti bevacizumab dan cetuximab. Obat kemoterapi lama dan hasil penemuan baru mempunyai mekanisme kerja, efek samping dan implikasi keperawatan yang berbeda-beda (Vega-Stromberg, 2005), sehingga praktisi kesehatan yang berkecimpung dengan obat ini harus selalu mengikuti perkembangannya. Dari keterangan diatas juga diketahui bahwa dalam mengobati suatu kanker tertentu sering menggunakan sitostatika dalam bentuk paduan obat yang terdiri dari lebih dari satu obat sitostatika. Paduan obat kemoterapi dan jenis kanker yang diobatinya dapat dilihat pada lampiran 3.

Pemberian kemoterapi yang tidak sesuai dengan standard precaution yang aman juga bisa berdampak buruk baik untuk petugas kesehatan yang berhubungan langsung dengan obat, klien lain juga pada lingkungannya, sehingga perlu dipahaminya prosedur pemberian kemoterapi yang aman bagi semua orang yang ada di rumah sakit. Petugas kesehatan yang berisiko terpapar oleh obat ini adalah perawat, farmasis, dokter dan pegawai lainnya yang terlibat dalam penyiapan, pemberian dan pembuangan zat ini (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995; Power & Polovich, 2004). Oleh sebab itu dalam beberapa waktu terakhir perhatian tentang potensi pemaparan dan akibat lebih lanjut pada petugas kesehatan yang menangani obat sitotoksik atau antineoplasma semakin besar (Ziegler, Mason & Baxter, 2002). Terutama para professional kesehatan termasuk para pengelola rumah sakit.

Berdasarkan dengan latar belakang tersebut diatas, maka perawat sangat perlu memahami secara lebih mendalam tentang obat kemoterapi, bahaya yang dapat timbul pada petugas kesehatan dan pasien serta cara pemberian yang aman pada pasien.

B. Obat Kemoterapi

Obat kemoterapi atau obat antineoplasma atau obat sitostatika adalah suatu obat yang mencegah perkembangan, pertumbuhan dan proliferasi sel-sel malignan (ganas). Obat antineoplastik/ obat antikanker atau obat kemoterapi kanker juga dikenal sebagai obat sitotoksik (HSE, 2003). Obat sitotoksik yaitu kemampuan suatu zat kimia untuk merusak sel atau mencegah sel untuk memperbanyak diri (multiplikasi). Obat ini termasuk obat-obat yang berbahaya (OB). Obat berbahaya (OB) adalah suatu zat atau obat yang bersifat genotoksik, carsionogenik, teratogenik dan atau menyebabkan kesusakan fertiliasi (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995). Namun kriteria obat berbahaya ini diperluas oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Obat digolongkan sebagai obat berbahaya jika obat tersebut memenuhi satu atau lebih karakteritik berikut (NIOSH, 2004c; Polovich, 2004, 2005; Brown, t tahun):

1. Karsinogenisitas
2. Teratogenisitas atau toksisitas perkembangan
3. Toksisitas reproduktif
4. Toksisitas organ dalam dosis rendah
5. Genotoksisitas
6. Mempunyai struktur atau toksisitas yang mirip dengan obat-obatan yang telah diklasifikasikan dalam obat berbahaya dengan menggunakan criteria diatas

Berikut ini nama-nama obat kemoterapi yang sering digunakan termasuk nama kanker yang diobatinya (Rogers, 1987; Chabner et al. 1996; Jochimsen, 1992; McFarland et al. 2001 dalam NIOSH 2004a, 2004b):

Agent Ankylating (mengganggu mitosis dan pebelahan sel normal)
a. Chlombucil (Leukeran ®)¾ kanker payudara, paru, ovarium dan testis; Penyakit Hidgkin’s
b. Cyclophosphamide (Cytoxan ®)¾multiple myeloma; kanker payudara, paru dan ovarium.
c. Carmustine (BiCNU ®)¾melanoma maligna, tumor otak.

Antimetabolit (mengganggu sintesis asam folat, purin dan pyrimidine)
a. Methotrexate (Mexate ®)¾leukemia, kanker paru, dan kanker payudara
b. Fluorouracil (Adrucil ®)¾kanker kandung kemih, hati, pancreas, paru, dan payudara
c. Mercaptopurine (Purinethol ®)¾leukemia akut.

Antibiotik (menyebabkan pemecahan rantai tunggal atau rantai ganda DNA)
a. Actinomycin D (Cosmegen ®)¾Sarkoma Kaposi, rhabdomyocarcoma
b. Doxorubicin (Adriamycin) ¾ leukemia akut, kanker payudara
c. Bleomycin (Bleo ®)¾Limfoma Hodgkins/ non Hodgkins, Kanker testis

Produk Alami (obat antimitosis) (mencegah mitosis dan menyebabkan penghentian metaphase).
a. Vinblastine (Velban ®)¾Limfoma non Hodgkin, kanker payudara dan testis.
b. Vincristine (Oncovin ®)¾kanker paru sel kecil, Limfoma non Hodgkins
c. Paclitaxel (Taxol ®)¾Kanker ovarium dan kanker payudara

Agent miscellaneous
a. Hydroxyurea (Hydrea ®)¾bekerja sebagai anti metabolit dalam fase S; melanoma maligna, kanker ovarium metastasis
b. Estrogen¾mengganggu reseptor hormone dan protein dalam semua fase siklus sel; kanker prostate, kanker payudara lanjut postmenopause

Obat-obat antikanker diatas juga terkadang digunakan untuk terapi pada kasus kasus non kanker, seperti methotrexate untuk mengobati rheumatoid arthritis (Baker et al. 1987 dalam NIOSH 2004a, 2004b), cyclopospahmide untuk multiple sclerosis (Moody et al 1987 dalam NIOSH 2004a, 2004b), dan 5-fluorouracil untuk psoriasis (Abel 2000 dalam NIOSH 2004a, 2004b). Obat-obatan ini walaupun tidak digunakan untuk pasien kanker, dalam pemberiannya diperlakukan seperti melakukan pemberian obat antikanker lainnya. Untuk itu para perawat harus waspada dan teliti dalam mengidentifikasi obat-obatan yang akan diberikan pada klien.

The International Agency for Research on Cancer (IARC) telah mengevaluasi 900 obat yang berpotensi menyebabkan kanker pada manusia (Power & Polovich, 2004). Berikut ini daftar obat-obat kemoterapi yang sering digunakan sebagai anti kanker pada pasien (Vanchieri, 2005):

1. Kelompok I: Karsinogenik pada manusia
a. Azathioprine
b. Busulfan
c. Cholorambucil
d. Cyclophosphamide
e. Melphalan
f. MOPP
g. Semustine
h. Tamoxifen
i. Thiotepa
j. Threosulfan

2. Kelompok II: mungkin karsiongen (probable carcinogens)
a. Carmustine
b. CCNU
c. Cisplatin
d. Doxorubicin
e. Nitrogen Mustard
f. Procarbazine


3. Kelompok III: diduga karsinogen (possible carcinogens)
a. Bleomycin
b. Dacarbacin
c. Mitamycin
d. Streptozocin

Untuk lebih lengkapnya, kunjungi website IARC: http://www-cei.iarc.fr/%20monoeval/grlist.html

C. Obat Kemoterapi dan Bahayanya

Mekanisme kerja dari obat-obat berbahaya ini termasuk obat-obat kemoterapi adalah dengan menempel langsung pada materi genetic di dalam nucleus sel atau dapat berpengaruh dalam sintesis protein seluler. Obat kemoterapi berupaya mempengaruhi sel melalui beberapa mekanisme. Pada tingkat seluler mereka melakukan aksi lethal dengan proses mencegah pertumbuhan dan perkembangan sel-sel target. Mekanisme ini meliputi merusak produksi enzim-enzim esensial, menghalangi sysntesis RNA, DNA dan protein, serta memcegah mitosis sel.

Obat-obat kemoterapi ini tidak dapat membedakan antara sel-sel yang normal dengan sel-sel kanker (Worthington, 2000, Sutarni, 2003a). Pertumbuhan dan reproduksi sel-sel normal juga sering dipengaruhi selama pengobatan sel-sel kanker. Bukti lain dapat dilihat pada beberapa penelitian pada hewan, Sejumlah penelitian mencatat terjadinya pengaruh carsionegik, mutagenik dan teratogenik dari Obat-obat berbahaya pada hewan yang terpapar (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995).

Data pada manusia tentang pengaruh penggunaan obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi juga banyak dicatat oleh para ahli. Timbulnya keganasan skunder tercatat sebagai efek samping dari pemberian obat kemoterapi pada penderita kanker. Leukemia adalah kasus yang paling banyak dilaporkan, diamping keganasan lainnya seperti kanker kandung kemih dan limfoma (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995).

Aberasi kromomosn juga dapat terjadi akibat pemberian kemoterapi pada pasien yang menderita kanker primer. Salah satu penelitian tentang pemberian chlorambusil menunjukan adanya kerusakan kromosom pada pasien yang menerima obat tersebut yang sifatnya akumulatif dan berhubungan dengan dosis dan lamanya pemberian (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995).

Sejumlah laporan kasus berhubungan dengan pengobatan dengan kemoterapi menyebabkan kelainan pada alat reproduksi. Disfungsi testis dan ovarium sampai terjadi sterilias permanent terjadi pada pasien laki-laki dan perempuan yang telah menerima satu atau kombinasi obat kemoterapi (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995). Beberapa obat antineoplasma juga diketahui atau diduga dialirkan kepada anak melalui air susu ibu.

D. Obat kemoterapi dan Paparan pada Petugas Kesehatan

Persiapan, pemberian dan pembuangan obat-obat berbahaya dapat menyebabkan paparan pada farmasis, perawat dan dokter dan tenaga kesehatan yang lain yang terlibat dalam proses diatas tersebut. Tingkat absorsi obat tersebut ditempat kerja dan efek dini biologi terhadap petugas kesehatan sulit dikaji dan sangat beragam untuk tiap individu (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995). Namun demikian, beberapa kasus dapat menjadi bukti potensi keracunan pada obat ini jika tidak ditangani dengan cara yang tepat. McDiarmid, Presson & Fujikawa (1995) mencatat bahwa paparan sampingan ini mempunyai efek akumulasi yang cepat.

Sampai sekarang umumnya petugas kesehatan masih percaya bahwa tempat kerja mereka aman saat menyiapkan dan memberikan obat-obatan kemoterapi apalagi jika telah mengikuti petunjuk yang dipublikasikan oleh Occupational Safety and helath Administration (OSHA) pada tahun 1986. Tetapi kenyataan mengatakan lain. Seorang anggota NIOSH, bagian dari Center for Disease Control and Prevention (CDC), Thomas H. Connor menemukan kontaminasi obat-obat kemoterapi di enam pusat pengobatan kanker di Kanada dan Amerika Serikat. Hasilnya, tiga obat anti kanker terdeteksi di 75% sampel ruang famasi tempat penyiapan obat kemoterapi, dan didalam 65% tempat pemberian obat kemoterapi (Vanchieri, 2005, Polovich, 2004). Pada saat yang sama Connor juga menemukan bahwa fasmasis dan perawat yang menangani cyclophosphamide terpapar obat yang cukup banyak sehingga nampak pada pemeriksaan urinnya (Vanchieri, 2005). Hasil penemuan ini sebenarnya tidak jauh berbeda seperti yang ditemukan Flack (1979, dalam Sutarni, 2003b; Power & Polovich, 2004) yang menjelaskan bahwa urin perawat yang mengerjakan dan memberikan sitostatika sama dengan urine klien yang mendapatkan obat anti kanker. Penelitian lanjutan tentang hal ini menunjukan bahwa peningkatkan keamanan penanganan obat antineoplasma menurunkan hal tersebut (Power & Polovich, 2004).

Horrison (2001, dalam NIOSH, 2004) melaporkan bahwa enam obat yang berbeda (cyclophospamide, methotrexate, ifosfamide, epirubicin dan cisplatin/carboplastin terdeteksi dalam urine petugas kesehatan pada 13 dari 20 penelitian. Berkaitan dengan penelitian ini, dua penelitian ini juga melaporkan ditemukannya obat antineoplasma di dalam urin petugas farmasi dan para perawat (Perhran et al. 2003; Wick et al. 2003, dalam NIOSH, 2004c).

Penelitian lain juga menunjukan adanya penyimpangan atau kelainan kromoson pada perawat yang bekerja pada waktu lama mempersiapkan obat sitostatika (Wasfik, dalam Sutarni, 2003b). Signifikasi secara statistik tentang terjadinya efek genotoksik dan kerusakan genetic banyak dilaporkan (NIOSH, 2004). Beberapa penelitian menunjukan peningkatan pembentukan mikronuklei dan peningkatan kromosok kembar yang mengalami perubahan termasuk aberasi kromosom pada farmasis dan perawat yang terpapar dengan antineoplasma (NIOSH, 2004).

Risiko lain yang harus ditanggung petugas kesehatan saat menangani obat-obat kemoterapi jika tidak dilakukan tidak menggunakan standard precaution yang tepat adalah ruam kulit (skin rash), infertilitas, keguguran, kecacadan lahir, kemungkinan leukemia dan kanker lain (Vancheiri, 2005). Baru sedikit informasi tentang risiko kanker berhubungan dengan paparan antineoplasma pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit (Burgas et al, 1999; Mc Diarmid et al., 1992; Oestreicher et al., 1990; ketiganya dalam NIOSH, 2005). Tetapi banyak kasus dilaporkan berhubungan dengan kejadian kanker berhubungan dengan paparan antineoplasma pada petugas keseahatan di rumah sakit. Satu kasus kanker kandung kemih pada seorang farmasis dilaporkan berkaitan dengan seringnya terpapar oleh antineoplasma, sementara ia tidak pernah adanya bukti ia terpapar oleh karsinogen lingkungan lain yang diketahui (Levin, et al., 1993, dalam NIOSH, 2004c).

Para ahli menyatakan bahwa tiga keganasan yang tersering akibat sering terpapar dengan obat-obat kemoterapi adalah kanker kandung kencing, limfoma dan leukemia (Polovich, 2004, 2005; Power & Polovich, 2004; Vanchieri, 2005).

Petugas kesehatan yang terpapar seharusnya dikaji oleh suatu penelitian tentang biological marker dari paparan. Biological marker yang ditemukan tidak bersifat tunggal, yang bisa digunakan sebagai indicator yang baik sebagai efek samping penggunaan antineoplastik pada petugas kesehatan (Baker & Connor, 196, dalam NIOSH, 2004). Bukti biologis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi paparan petugas kesehatan terhadap obat antineoplasma meliputi mutagenisitas urine, kerusakan kromosom, perubahan kromatin kembar, induksi mikronuklei, kerusakan DNA, mutasi hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase dan ekskresi thioether (Power & Polovich, 2004).

Faktor yang mempengaruhi paparan obat atineoplastik dan atau obat-obat berbahaya lainnya ke petugas kesehatan adalah sebagai berikut (NIOSH, 2004).
1. Lingkungan disekitar obat sedang ditangani (persiapan, pemberian dan pembuangan).
2. Jumlah obat yang disiapkan
3. Frekuensi dan durasi obat diberikan
4. Potensi untuk diabsorbsi
5. Penggunaan kabinet biologi berventilasi
6. Alat pelindung diri
7. Praktik kerja (cara para praktisi bekerja).

Pengalaman menunjukan efek samping yang dialami oleh petugas keseahatan dari obat-obatan berbahaya semakin meningkat seiring dengan jumlah dan frekuensi paparan dan praktik/ kebiasaan kerja yang tidak baik.

E. Rute pemaparan Obat kemoterapi Pada Perawat

Perawat dan petugas kesehatan lain yang menangi obat-obat kemoterapi berpeonesi untuk terpapar obat ini melalui rute berikut ini (Polovich, 2004, 2005, Vanchieri, 2005):
1. Inhalasi -- dari udara pernafasan yang terkontaminasi seperti obat yang berubah menjadi aerosol atau droplet.
2. Kontak kulit -- kontak langsung dengan obat atau menyentuh permukaan lingkungan atau benda yang terkontaminasi obat kemoterapi
3. Tertelan -- berasal dari makanan atau minuman, atau kontak tangan ke mulut.
4. Kecelakaan suntik-- berasal dari tertusuknya oleh jarum suntik atau benda tanjam lain yang terkontaminasi oleh obat kemoetarapi.

Absorbsi obat kemoterapi melalui kulit atau mukosa dan inhalasi biasanya terjadi selama aktivitas berikut (Aschenbrenner, Cleveland & venabel, 2002):
1. Membuka vial atau ampul kemoterapi
2. Membuang udara dari dalam tabung alat suntik (syringe) yang telah terisi obat kemoterapi
3. Pembuangan peralatan infuse, botol cairan dan selang infuse yang habis digunaan untuk memberi obat kemoterapi.
4. Membuang ekskresi tubuh pasien yang telah menerima obat kemoterapi.

Tertelannya obat kemoterapi oleh petugas kesehatan terjadi melalui kontak tangan ke mulut melalui makanan, minuman, rokok, kosmetik dan alat-alat yang terkontaminasi obat kemoterapi.

Ziegler, Mason dan Baxter (2002) menyatakan bahwa perhatian terhadap paparan obat kemoterapi [seharusnya] tidak hanya pada akibat ceceran obat tersebut, tetapi juga akibat kontak dengan cairan tubuh pasien seperti muntah, keringat dan urin pasien. Karena cairan tubuh ini juga mengandung obat kemoterapi. Untuk menghindari resiko paparan terhadap obat sitotoksi ini langkah yang paling baik bagi para perawat adalah memakai alat pelindung diri mulai dari persiapan, pemberian kemoterapi, menolong klien dan penangan ekskresi sampai 2 x 24 jam setelah pemberian kemoterapi (Sutarni, 2003). Penanganan yang hati-hati juga dilakukan pada baju, balutan, linen dan benda lain yang terkontaminasi dengan obat atau cairan tubuh klien lainnya (NIOSH, 2004c).

Kontaminasi petugas kesehatan dengan obat sitostatika, dapat terjadi pada saat :
1. Pengambilan obat kembali melalui jarum suntik
2. Membuka Ampul
3. Pengeluaran udara dari spuit.
4. Mengganti botol infus atau selang yang sudah terisi oleh obat sitostatika.
5. Kontak melalui makanan dan minuman.
6. Makan, minum, merokok pada daerah persiapan.
7. Pada waktu membuang alat yang terkontaminasi.

Kontaminasi yang terjadi pada saat mempersiapkan/ pencampuran obat oleh tumpahan atau terpercik pada saat :
Menarik jarum dari vial.
Memindahkan obat dengan menggunakan jarum
Membuka ampul.
Mengeluarkan udara dari spuit
Mengganti intravenous line, selang infus, dan cairan infus.

Kontaminasi saat pemberiaan obat
Mengeluarkan udara dari spuit/ I V tube.
Saat melakukan injeksi.
Lepasnya IV line dari tube.
Tertusuk jarum.

Kontaminasi saat menangani alat-alat yang dipakai:
Semua peralatan yang telah dipakai dapat terkontaminasi
Beri lebel semua sampah sitostatika.
Ekskresi klien yang mengandung kemoterapi sampai 2X24 jam
Alat – alat tenun yang dipakai klien

F. Petugas Kesehatan yang Berisiko Terpapar

Petugas kesehatan dirumah sakit yang berpotensi untuk terpapar obat antineoplasma adalah sebagai berikut (NIOSH, 2004a,b):
1. Staf rumah sakit yang bekerja ditempat cairan tersebut berada mulai dari persiapan, pemberian dan pembuangan alat-lat yang digunakan (termasuk persiapan obat dengan menghancurkan obat tablet).
2. Petugas farmasi yang menyiapkan cairan [obat kemoterapi]
3. Petugas rumah sakit dibagian onkologi, yang melakukan infuse dan memberikan cairan tersebut.
4. Petugas kesehatan yang membuang feses, urin dan lain-lain dari pasien yang diobati dengan obat tersebut.
5. Petugas kesehatan yang menangani linen yang digunakan oleh pasien yang diberikan obat kemoterapi

G. Saat-saat Petugas Kesehatan Terpapar Antineoplasma di Rumah Sakit

Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit akan terpapar obat antineoplasma melalui inhalasi, menelan secara tidak sadar atau melalui kontak kulit selama prosedur berikut (NIOSH, 2004a,b).
1. Menghitung tablet dari botol obat
2. Memecah atau menghancurkan tablet menjadi sedian cair.
3. Menyiapkan cairan
4. Menangani cairan
5. Memberikan obat
6. Membuang cairan
7. Membuang perangkat infuse yang telah digunakan atau peralatan yang digunakan untuk pemberian obat tersebut.
8. Membersihan tumpahan
9. membuang feses, urin, linen tempat tidur pasien yang diobati dengan obat tersebut
10. Mencuci linen yang digunakan oleh pasien yang diobati dengan oabt tersebut.

Petugas kesehatan juga dapat terpapar saat mengepel atau terpapar oleh permukaan lingkungan yang terkontaminasi oleh obat selama persiapan, pemberian dan pembuangan obat tersebut.

H. Gejala Terjadi Paparan Pada Petugas Kesehatan

Gejala-gejala dan pengaruh pada kesehatan berikut telah banyak dilaporkan
pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang telah terpapar oleh obat antineoplasma (NIOSH, 2004a,b):
1. Nyeri perut
2. Batuk-batuk
3. Pusing
4. Mual-mual
5. Muntah
6. Diare
7. Ruam kulit
8. Rambut rontok
9. Efek samping pada system reproduktif seperti gangguan siklus mentruasi, keguguran dan lahir cacad.

Jika para perawat mengalami masalah kehatan tersebut diatas setelah bekerja dengan antineoplasma, laporkan kejadian tersebut pada atasan perawat seperti kepala ruangan atau manajer rawat inap dan tim pengendali kecelakaan kerja Rumah sakit.
Sumber: Haughney, 2004

I. Persiapan dan Pencegahan Paparan Saat Pemberian Kemoterapi yang Aman Bagi Perawat

Agar tercegah terjadinya paparan pada perawat dilakukan persiapan sebagai berikut (Sutarni, 2003b):

1. Persiapan Perawat
Petugas atau perawat yang diizinkan untuk memberikan obat sitostatika adalah mereka yang sudah mendapat pendidikan tentang :
a. Cara menangani obat sitostatika.
b. Mengetahui kemungkinan resiko yang terjadi akibat oabt sitostatika.
c. Penatalaksanaan alat-alat yang terkontaminasi.
d. Pencegahan paparan terhadap perawat.

Petugas yang tidak diizinkan untuk memberikan obat sitostatika.
a. Wanita hamil dan menyusui.
b. Perawat yang tidak memakai pelindung
c. Mahasiswa perawat yang sedang praktek.

2. Tindakan pencegahan untuk pemberian obat kemoterapi yang aman

Pertanyaan selanjutnya yang sering muncul adalah bagaimana kita dapat mencegah terjadinya paparan terhadap antineoplasma. Lindungi diri kita (petugas kesehatan) dari paparan dengan metode dan cara kerja berikut ini (NIOSH, 2004a,b):
a. Siapkan obat ini dalam suatu tempat khusus yang ditangani oleh petugas yang mempunyai wewenang.
b. Siapkan obat ini dalam suatu biological Safety cabinet (BSC) terutama BCS kelas II tipe B atau kelas III (Suatu BSC yang mengalirkan udara dari dalam BSC keluar menjauhi ruangan).
c. Gunakan alat suntik (syring) dan set infuse dengan system Luer-Lok™ untuk persiapan dan pemberian obat ini. Buang syring dan jarumnya pada wadah yang didesain untuk melindungi petugas dari cidera [tertusuk].
d. Pertimbangkan untuk menggunakan alat untuk membawa obat dengan system tertutup dan system tanpa jarum.
e. Hindari kontak kulit. Gunakan baju pelindung disposibel yang terbuat dari bahan yang antitembuh cairan. Baju ini tertutup dibagian depannya, tangan panjang.
f. Gunakan sarung tangan berkualitas tinggi yang bebas bedak, yang menutupi lengan baju
g. Gunakan dua pasang sarung tangan (didouble).
h. Ganti sarung tangan secara periodic
i. Pakai plastic penutup wajah atau kacamata google untuk menhindari kontak dengan matam hidung, dan mulut dari obat tersebut, dimana obat ini dapat memercik, menyemprot atau menjadi aerosol.
j. Buka baju pelindung secara hati-hati untuk menghindari perluasan kontaminasi.
k. Lakukan pelatihan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya keamanan dalam menyiapkan dan memberikan obat-obatan ini.
Gambar penyiapan Obat kemoterapi dalam BSC
Gambar: Skema BSC yang standar

Lindungi diri kita (perawat dan petugas kesehatan lainnya) dengan mengikuti tip berikut ini (NIOSH, 2004a,b):
a. Jangan makan atau minum [atau merokok] ditempat dimana obat antineoplastik disiapkan atau diberikan
b. Biasakan atau mampu untuk mengenali sumber paparan terhadap antineoplasma.
c. Cuci tangan sebelum dan sesudahh menggunakan melepaskan alat pelindung diri seperti baju pelindung disposibel dan sarung tangan disposibel.
d. Tangani sampah yang berhubungan dengan oabt antineoplasma secara terpisah dengan sampah rumah sakit lain. Tangani sampah tersebut sebagai sampah-sampah berbahaya.
e. Bersihkan tumpahan obat sesegera mungkin dengan menggunakan metode kewasapadaan yang tepat.
f. Pelajari kebjakatan tertulis rumah sakit dalam menangani obat antineoplasma.
g. Pelajari dan akses jurnal serta publikasi yang berhubungan dengan penanganan obat kemoterapi yang aman.

Secara lebih rinci, pencegahan pemaparan abat kemoterapi pada petugas mulai perilaku petugas, pemaparan melalui alat, saat persiapan pasien, saat menyiapkan obat, saat memberikan obat dan saat membuang sampah adalah sebagai berikut (Sutarni, 2003b):

a. Mencegah resiko yang berasal dari petugas
1) Tidak boleh makan dan minum ditempat pencampuran obat.
2) Tidak boleh mengunyah makanan dan merokok.
3) Tidak boleh memakai kosmetik ditempat pencampuran.
4) Tidak boleh menyimpan makanan dan minuman bersama sama dengan obat kemoterapi dalam satu kulkas.
5) Harus memakai tehnik mencuci tangan yang baik.
6) Harus menggunakan alat pelindung diri.
b. Pencegahan paparan melalui alat.
1) Harus memakai proteksi lengkap saat menangai alat alat yang habis dipakai.
2) Alat – alat direndam dengan deterjen kemudian bilas dengan air.

c. Pencegahan saat persiapan
1) Pakailah pakaian pelindung dengan lengan panjang dan bermanset elastis dengan bahan yang bersifat menahan penetrasi partikel obat
2) Gunakan topi untuk melindungi kepala.
3) Gunakan kaca mata untuk melindungi dari percikan.
4) Gunakan masker untuk mengurangi resiko terhirupnya melalui mulut dan hidung.
5) Gunakan sarung tangan untuk menghindari kontak dengan obat pada tangan.


d. Pencegahan saat persiapan obat sitostatika
1) Cuci tangan
2) Cegah kebocoran pada sarung tangan.
3) Sediakan alat-alat yang diperlukan.
4) Tutup troli dengan pengalas dan kertas/ bahan yang menyerap.
5) Jangan tumpah dan meninggalkan aerosol.
6) Wajah jangan terlalu dekat saat membuka ampul.
7) Sebelum membuka ampul pastikan tidak ada cairan di ujung ampul.
8) Gunakan kasa pada waktu membuka ampul .
9) Cegah kevakuman yang berlebihan pada amapul
10)Pastikan bahwa obat yang diambil sudah cukup agar tidak mengulang dua kali.
11) Gunakan kasa steril untuk mengeluarkan kelebihan udara dari spuit
12) Buat label dengan lengkap ( nama pasien, MR, obat, dosisi,tgl pencampuran ) tempelkan di spuit/ plabot/ botol
13) Letakkan obat pada tempat yang aman ( bak spuit, box tertutup )

e. Pencegahan saat memberikan obat sitostatika
1) Pakailah proteksi secara lengkap.
2) Gunakan spuit / set injeksi yang telah disediakan.
3) Gunakan kateter kecil, jangan menggunakan wing needle karena kaku dan merusak vena
4) Teliti dan hati-hati saat menyuntikkan obat sitostatika dan ketika penggantian jarum
5) Alasi dibawah penyuntikan dengan pengalas untuk menghindarkan tumpahan atau lelehan
6) Hindari obat jatuh ke alat – alat tenun diatas tempat tidur.

f. Pencegahan saat membuang sampah sitostatika

1) Material/ bahan–bahan yang terkontaminasi harus dibungkus dengan aman, material yang tajam dimasukkan ketempat yang tidak mudah bocor
2) Bahan dan sampah terkontaminasi dengan obat antineoplasma dimusnahkan di incenerator dengan suhu >1000 oC

J. Pemberian Obat Kemoterapi yang Aman

Untuk memberikan obat kemoterapi parenteral yang aman, ikuti petunjuk berikut:
1. Sebelum pemberian kemoterapi, perawat mengkaji pengetahun pasien/ keluarga tentang pengobatan, memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan dokuemntasikan dalam catatan pasien
2. Sebelum pemberian kemoterapi, perawat meninjau kembali hasil pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan (darah lengkap dan kimia darah), jika nilai abnormal ditemukan, perawat menghubungi dokter untuk penangan lebih lanjut dan dokumentasikan hal ini dengan benar.
3. Sebelum tiap dosis kemoterapi diberikan, dua perawat secara indenpenden memverifikasi informasi berikut:
a. Verifikasi protocol dan semua perhitungan yang digunakan dosis kemoterapi (misalnya luas permukaan tubuh, dosis/m2 luas permukaan tubuh, dosis/kg BB dsb).
b. Verifikasi label kemoterapi terutama terhadap order/ resep obat kemoterapi yang meliputi: nama pasien, nama obat, dosis, rute, cairan pencampur (diluent), lama pemberian)
c. Verifikasi jarak waktu antara pemberian dosis kemoterapi terakhir dengan dosis berikutnya
4. Sebelum obat kemoterapi diberikan, verifikasi identititas pasien sebagai berikut:
a. Untuk pasien rawat inap, perawat mengidentifikasi nama pasien, nomor rekam medis, nama pasien ditempat tidur dan label obat kemoterapi.
b. Untuk pasien rawat jalan, pasien menanyakan pada pasien nama lengkap pasien, tempat tanggal lahir, nomor rekam medis
5. Perawat menggunakan alat pelindung diri secara lengkap (jubah, sarung tangan, masker dan google).
6. Sebelum memberikan obat kemoterapi secara intravena melalui infus, perawat memberi cairan infuse yang di programkan dokter untuk mengkaji kelancaran aliran infuse dan mengobservasi tanda dan gejala infiltrasi (bengkak atau hematoma)
7. Setiap memulai memberikan obat kemoterapi secara infuse, dua orang perawat menverifikasi kecepatan aliran infuse antara yang diprogramkan dokter dan yang ada pada label obat kemoterapi.
8. Selama pemberian obat kemoterapi, perawat memberikan cairan pembilas yang diprogramkan dokter diantara obat kemoterapi yang berbeda untuk membilas dan membersihkan selang infuse dari obat yang diberikan sebelumnya
9. Perawat melakukan pengkajian untuk mengetahui kelancaran aliran infuse dan mengobservasi tanda-tanda vital secara periodic minimal 2 kali selama pemberian obat.
10. Obat-obat yang vesikan yang diberikan secara intravena melalalui infuse diberikan melalui kateter vena sentral (central venous access catheter) dan periksa kelancarannya
11. Jika diduga atau telah terjadi ekstravasasi dari obat kemoterapi yang vesikans, ikuti kebijakan rumah sakit untuk penanganan ekstavasasi dari obat kemoterapi yang vesikans dan laporkan pada dokter penanggungjawab.
12. Jika diduga atau telah terjadi efek samping obat, laporkan kepada dokter penangggungjawab dan ikuti kebijakan rumah sakit tentang penanganan reaksi atau efek samping obat.

Pemberian obat kemoterapi oral
Jangan menghancurkan obat kemoterapi oral, kirim ke bagian farmasi jika membutuhkan obat kemoterapi oral yang dihancurkan dan dihaluskan.
Pakai sarung tangan dengan benar (sarung tangan double), baju pelindung (jubah) dan penutup wajah.
Tempatkan obat pada tempat obat disposibel dan berikan pada pasien
Ambil semua alat atau benda yang telah digunakan untuk persiapan pemberian obat oral pada pasien termasuk sarung tangan, tempat obat, pembungkus obat untuk dibuang ditempat sampah berlabel sampah sitotoksik.

Pemberian obat kemoterapi melalui infuse
Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan.
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah sambungan selang infuse
Setelah melaksanakan pemberian obat melalui infuse, semua alat pelindung diri, botol infuse dengan selang yang tersambung dan linen yang tekontaminasi serta plastic pengalas ditempatkan dalam dimasukan ke dalam kantong plastic tertutup/ diikat dan masukkan dalam tempat sampah khusus untuk obat-obat berbahaya.
Jubah yang dipakai ketika memberikan obat kemoterapi harus dibuka ketika meninggalkan kamar pasien dan mengganti segera jika terkontaminasi obat.

Pemberian obat kemoterapi melalui injeksi bolus
Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan.
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah tangan pasien untuk mengantisipasi ceceran obat.
Tutupi dengan kasa steril ditempat tusukan jarum untuk menghindari semprotan ke lingkungan sekitar terutama saat penusukan dan pencabutan alat suntik
Setelah selesai pemberian, tempatkan benda-benda terkontaminasi dan alat pelindung diri yang digunakan pada plastic yang diikat dan dibuang ditempat sampah khusus.
Jubah yang dipakai ketika memberikan obat kemoterapi harus dibuka ketika meninggalkan kamar pasien dan mengganti segera jika terkontaminasi obat.

Pemberian obat kemoterapi melalui injeksi intramuskuler atau subkutan
Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan
Alat suntik dipasang dengan erat dan jarum dan gunakan jarum dengan ukuran yang sesuai
Jangan membuang udara yang ada di dalam tabung suntikan menggunakan jarum suntikan yang digunakan untuk menyedot dari vial atau ampul, ganti dengan yang baru buang udara dan jangan sampai obat keluar dari jarum.
Setelah pemberian jangan menutup kembali jarum suntik, atau membengkokan atau menghancurkan jarum suntik.
Buang alat suntik yang masih tersambung dengan jarumnya ke dalam tempat sampah khusus yang tahan tusukan.
Buka alat pelindung diri dan tempatkan pada kantong plastic tertutup dan buang ditempat sampah khusus untuk obat-obat berbahaya.

Pemberian obat kemoterapi kedalam rongga tubuh (termasuk kedalam pleura atau kandung kencing)

Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah pasien untuk mengantisipasi ceceran obat
Lapisi dengan kasa steril pada sambungan untuk mengurangi potensi semprotan obat ke lingkungan sekitar terutama saat menyambung atau membuka sambungan
Klam kateter setelah pemberian obat untuk meminimalkan aliran balik obat
Setelah pemberian obat dan waktu yang dibutuhkan telah terpenuhi, buka klam untuk mengumpulkan cairan residu ke dalam kantong drainage.
Tangani cairan tubuh yang keluar (urine atau cairan pleura) sebagai cairan tubuh yang terkontaminasi obat kemoterapi.
Buang alat atau benda yang telah digunakan untuk pemberian obat kemoterapi
Buka semua alat pelindung diri dan tempatkan pada plastic dan diikat dan buang ditempat sampah khusus untuk obat-obat berbahaya.

Penanganan pasien setelah pemberian kemoterapi.
Kewaspadaan perawat terhadap darah dan cairan tubuh pasien yang diberikan obat kemoterapi dilakukan selama 48 jam.
a. Gunakan alat elindung diri lengkap ketika menangani cairan tubuh terutama urin
b. Sarankan pada pasie laki-laki untuk kencing sambil duduk.
c. Sarankan klien untuk menggunakan toilet atau bedpan/ urinal dan ekskreta ini segera dibuang.
d. Bersihkan toilet pasien dengan benar
e. Buang system drainage yang digunakan pasien secara menyeluruh termasuk system drainage untuk cairan pleura, asites dan cairan tubuh lainnya.
f. Buang benda-benda disposibel yang terkontaminasi cairan tubuh pasien terutama dalam 48 jam pertama setelah pemberian obat kemoterapi.
g. Tempatkan linen yang terkontaminasi pada tempat khusus dan kemudian untuk dicuci.
Lindungi kulit klien yang tidak utuh dari eksresi atau cairan tubuh pasien
a. Bersihkan kulit dengan sabun dan air.
b. Pasang barrier perineal atau daerah perirektal ketika buang aing besar atau buang air kecil.


K. Rekomendasi Untuk Penanganan Kemoterapi yang Aman

Banyak literatur yang dapat dijadikan acuan untuk penanganan obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi agar aman bagi petugas kesehatan. Karena di Indonesia belum banyak peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah mengenai hal ini, perawat dapat menelaah literatur luar negeri yang dipublikasikan secara luas ke seluruh dunia. Literatur yang dapat dijadikan acuan misalnya American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) yang telah mempublikasikan rekomendasi penanganan yang aman obat-obat berbahaya pada tahun 1985, The Occupational Safety & Health Administration (OSHA) yang telah mempublikasikan petujuk untuk penanganan yang aman, pengontrolan pemaparan kerja terhadap obat-obat berbahaya yang dipublikasikan tahun1986. Oncology Nursing Society (ONS) juga telah mengeluarkan petunjuk dan rekomendasi praktis berhubungan dengan kemoterapi pada tahun 1988(Polovich, 2005). Publikasi yang paling akhir adalah dari NIOSH tentang NIOSH Alert (NIOSH, 2004a,b) dan Publikasi NIOSH tentang Antineoplastic agent, Occupational Hazards in Hospital (NIOSH, 2004c).

Rekomendasi penanganan yang aman terhadap obat-obat berbahaya seperti obat kemoterapi berfokus pada metoda untuk mengurangi pemaparan obat-obat berbahaya di tempat kerja termasuk di rumah sakit. Rekomendasi ini didasarkan pada konsep control hirarki berasal dari hygiene industri. Penggunaan istilah hirarki adalah sengaja. Hal ini mengimplikasikan agar metode yang digunakan untuk pengontolan bahaya di tempat kerja lebih efektif (Polovich, 2005). Rekomendasi tersebut diurutkan dari yang paling efektif ke yang kurang efektif, seperti yang berikut:

1. Menghilangkan bahaya (Eliminating the hazard)
Cara yang paling efektif untuk mencegah paparan obat kemoterapi ditempat kerja, tetapi saat ini adalah sesuatu yang sangat mustahil sebelum adanya terapi pengganti yang aman untuk obat-obat kemoterapi.
2. Kontrol engineering (control engineering)
Merupakan mesin atau peralatan yang didesain untuk mencegah paparan obat kemoterapi pada petugas kesehatan. Kabin atau cabinet berventilasi seperti Biological safety cabinet atau isolator merupakan contoh dari control enjinering. Alat ini didesain untuk melindungi pekerja dari aerosol/ uap/ gas berasal dari obat kemoterapi saat melakukan persiapan pemberian obat tersebut.
Alat untuk memindahkan atau mengantar obat dengan system tertutup juga diperlukan dalam control enjinering ini. Alat ini didesain untuk mencegah kebocoran atau perembesan obat kemoterapi dari wadah satu ke wadah yang lainnya.
3. Kontrol administratif (administrative control)
Meliputi kebijakan, prosedur, jadwal praktik dan metode lain yang membatasi sejumlah tenaga kesehatan untuk terpapar obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi. Beberapa rumah sakit di luar negeri membuat tempat khusus untuk persiapan dan pemberian obat kemoterapi. Tujuannya adalah untuk meminimkan petugas kesehatan yang terpapar.
Pendidikan dan pelatihan petugas rumah sakit juga sangat penting sebagai kontrol administratif. Berikut daftar pelatihan yang harus didapat petugas kesehatan yang akan menangani obat-obat berbahaya termasuk obat-obat kemoetarpi:
a. Daftar obat-obat berbahaya [termasuk daftar obat kemoterapi]
b. Risiko potensial untuk terpapar
c. Rute pemaparan
d. Penyimpanan obat
e. Penggunaan dan pemeliharaan Biological Safety Cabinet
f. Penggunaan alat pelindung diri
g. Praktik kerja yang baik
h. Pemindahan atau transport obat
i. Pembuangan sampah
j. Pengelolaan tumpahan [obat]
k. Menjaga pencatatan
l. Ketrampilan melakukan uji
4. Kontrol praktik kerja (work-practice control)
Merupakan cara yang khusus menangani obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi, yang tujuannya tetap yaitu mencegah paparan pada petugas kesehatan. Contoh praktik kerja yang aman untuk seseorang yang menyiapkan dan memberikan obat kemoterapi adalah: menggunakan teknik tekanan negative saat mencampur tepung obat, menggunakan saluran yang terkunci pada peralatan infuse, mengeratkan dan mengunci selang infuse sebelum memasukan obat kemoterapi dalam system ini dan menggunakan system tanpa jarum.
5. Alat pelindung diri (personal protective equipment/ PPE)
Alat pelindung diri (APD) memberikan suatu barrier antara tenaga kesehatan dengan obat kemoterapi selama pencampuran dan pemberian obat tersebut. APD ini semestinya telah diujicoba untuk memastikan bahwa APD tersebut memberi perlindungan yang aman kepada petugas kesehatan, sehingga mencegah terjadinya kontak langsung dengan obat melalui obsorbsi atau inhalasi. Untuk obat-obat yang berbahaya, APD yang direkomendasikan adalah (NIOSH, 2004c).
a. Sarung tangan double. Telah diuji dengan obat-obat berbahaya, bebas dari bedak, terbuat dari lateks, nitril atau neoprene.
b. Baju pelindung. Bersifat protektif terhadap bahan kimia, disposibel, sekali pakai, berlengan panjang, berkancing dibelakang.
c. Pelindung mata. Untuk mencegah semprotan dari uap atau tepung obat. Biasanya menggunakan google.
d. Masker hidung/ pernafasan. Untuk mencegah terhirupnya aerosol atau uap/ tepung obat kemoterapi. Menggunakan masker yang terstandarisasi dan teregister NIOSH.
Gambar Sarung tangan yang menutupi lengan jubah pelindung
Sumber: Worksafe Victoria (2003)

L. Penanganan Paparan pada Petugas dan Tumpahan Obat Kemoterapi

Penanganan terhadap petugas kesehatan yang terpapar obat sitotoksik adalah sebagai berikut:
1. Lepas alat pelindung diri dan baju yang telah terkontaminasi dengan hati-hati untuk mencegah perluasan paparan.
2. Cuci daerah yang terkena secepatnya dengan sabun dan air.
3. Jika terkena mata, aliri mata dengan air atau pencuci mata isotonic minimal 15 menit, segera bawa ke unit emergensi dan laporkan dokter mata.
4. Bawa segera tenaga kesehatan yang terpapar ke unit emergensi untuk mendapat penanganan lebih lanjut
5. Laporkan ke manajer yang bertanggungjawab
6. Laporkan kejadian ke K3 RS

Pengelolaan ceceran obat kemoterapi sebagai berikut
Hanya petugas yang terlatih yang membersihkan ceceran obat kemoterapi.
Secepatnya diberi tanda dan beri peringatan kepada staf yang lain bahwa telah terjadi ceceran obat kemoterapi pada tempat yang diberi tanda.
Pakai alat pelindung diri lengkat dan gunakan sarung tangan double
Gunakan masker dianjurkan oleh NIOSH
Tempatkan kasa atau handuk yang menyerap diatas ceceran
Ambili pecahan kaca dengan menggunakan alat atau skop kecil dan buang pecahan kaca ke dalam tempat sampah khusus yang tahan tusukan.
Bersihkan daerah ceceran obat tiga kali dengan menggunakan detergen yang kemudian dibilas dengan air, dimulai dari area terkontaminasi kemudian daerah sekiranya.
Buka alat pelindung diri dan buang ditempat sampah khusus.

M. Penutup

Perlu kerjasama multidisiplin untuk memberikan obat kemoterapi yang aman terutama antara farmasis, dokter dan perawat. Alat pelindung diri menjadi sangat penting untuk melindungi tenaga kesehatan dalam pemberian obat kemoterapi termasuk alat biological safety cabinet yang digunakan untuk penyiapan obat keoterapi. Perlu tempat khusus untuk penyiapan dan pemberian obat kemoterapi pada pasien. Kebijakan san standar operating prosedur diperlukan dalam pelaksanaan pemberian obat kemoterapi yang aman.


DAFTAR PUSTAKA


American Society Clinical Oncology, (2004). Criteria for facility and personnel for administration of parenteral systemic antineoplastic therapy, Journal of Clinical Oncology, 22 (22): 1 - 3

Aschenbrenner, D.S., Cleveland, L.D., & Venabel, S.J. (2002). Drug therapy in nursing, Philadelphia: Lippincott William & Wilkins

Betz, C.L. & Sowden, L.A. (2000). Mosby pediatric nursing reference (4th ed), St Louis: Mosby

Brown, S. (t tahun). Safe handling of chemotherapeutic Agents, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.uspharmacist.com/oldformat.%20asp?url=newlook/file/Feat/ChemoAgents.htm&pub_id=8&article_id=918

Dougherty, L., (2000). Cental venous access devices, Journal Nursing Standard, 12 (43): 45 – 50

Haughney, A. (2004). Nausea and vomiting in end-stage cancer, These symptom can be treated most efectivelly if theunderlying cause is konown, AJN, diakses tanggal 17 Desember 2005, diperoleh dari http://%20www.nursingcenter.com/prodev/cearticles/asp?tid=577266.pdf

Health Service Executive (2003). Safe handling of cytotoxic drugs, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.hse.gov.uk/pubns.misc615.pdf

McCann, J.A.S. (2003). Nursing procedures and protocols, Philadelphia: William & Wilkins

McDiarmid, M., Presson, A.C., Weaver, V., & Fujikawa, J. (1995). Controlling occupational exposure to hazardous drugs, Am J Health-Syst Pharm, 52: 1669 – 1685

NIOSH (2004a). Antineoplastic agent – Occupational hazards in hospital, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.cdc.gov/niosh/%20docs/2004-102.htm

NIOSH (2004b). Antineoplastic agent – Occupational hazards in hospital, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.cdc.gov/niosh/docs/2004-102.pdf

NIOSH (2004c). NIOSH alert, preventing occupational exposures to antineoplastic and other hazardous drugs in health care setting, Center for Desease Control and Prevention

Otto, S.E. (1997). Pocket guide to oncology nursing, St Louis: Mosby

Polovich, M. (2004). Developing a hazardous drugs safehandling program, Community Oncology, 2 (5): 403 - 405
Polovich, M. (2004). Safe handling of hazardous drugs, Online Journal of Issues in Nursing, 9 (3), diakses 2 Mei 2005, diperoleh dari http://www.nursingworld.org/ojin/topic25/tpc25_5.htm

Porth, CM., (2005), Pathophysiology, Concepts of altered health states, (7th eds.), Philadelphia: Lippincott Willian & Wilkins

Power, L., & Polovich, M. (2004). Safe handling of hazardous drugs, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.oagpo.com/asset/pdf/cme-ceu/sicor_ceu.pdf

Power, L., & Polovich, M. (2005). New approaches in safe handling of hazardous drugs, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.ons.org/publication/journals/pdfs/300541.pdf

Sutarni, N. (2003a). Asuhan keperawatan pada pasien dengan kemoterapi, Makalah disampaikan pada Simposium Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaan Dengan Metode Kemoterapi yang Aman, yang diselenggarakan oleh Akademi Keperawatan Muhammadiyah Samarinda dengan PPNI Komisariat RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda, tidak dipublikasikan

Sutarni, N. (2003b). Prosedur Penatalaksanaan Kemoerapi yang Aman, Makalah disampaikan pada Simposium Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaan Dengan Metode Kemoterapi yang Aman, yang diselenggarakan oleh Akademi Keperawatan Muhammadiyah Samarinda dengan PPNI Komisariat RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda, tidak dipublikasikan

Vanchieri, C., (2005). Health hazard to community practice nurse: The ‘big worry’, Community Oncology, 2 (3): 277 – 279

Vega-Stromberg, T., (2005). Advances in colon cancer chemotherapy, Nursing implication, Home Healthcare Nurse, Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 23 (3) 154 – 166, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://%20www.nursingcenter.com/prodev/cearticles/asp?tid=577266.pdf

Wade III, J.L., Goldstein, M., Nystrom, J.S., Presan, C.A., Rausch, P.G., (1997). Criteria for facility and personnel for administration of parenteral systemic antineoplastic therapy, Journal of Clinical Oncology, 15 (11): 3416 – 3417, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.%20jco.org/misc/15.11.3416.pdf

Victoria WorkCover Autority (2003). Handling cytotoxic drug in the workplace, Melbourne: Worksafe Victoria

Worthington, K. (2000). Chemotherapy on the unit, Protecting the provider as well as patient. American Journal of Nursing, 100 (4), diakses tanggal 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.nursingworld.org/AJN/2000/APR/Health.htm

Ziegler, E., Mason, H.J., & Baxter, P.J. (2002). Occupational exposure to cytotoxic drugs in two UK oncology ward, Occup Environ Med. 59: 608 – 612, diakses 19 Desember 2005, diperoleh dari http://oem.bmjjornals.com/cgi/content/full/59/9/608
Readmore »»

Sunday, July 1, 2007

sosialisasi profesi

SOSIALISASI PROFESIONAL KEPERAWATAN

Oleh: Ns.Maridi MD, M.Kep.


Sosialisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses dimana seseorang (a) belajar menjadi anggota sebuah kelompok atau masyarakat dan (b) belajar aturan-aturan sosial tentang arti hubungan ke dalam kelompok atau masyarakat dimana ia akan masuk (Kozier, Erb dan Blais,1997).

Sosialisasi meliputi belajar tentang tingkah laku, perasaan dan melihat dunia (orang) lain dalam suatu pandangan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dimana orang tersebut menempati peran yang sama dalam posisi tersebut.

Tujuan sosialisasi profesianal adalah untuk menanamkan norma, nilai, sikap dan tingkahlaku yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan sebuah profesi.

Suatu aspek instrinsik dari proses sosialisasi adalah sosial kontrol yaitu kapasitas dari sebuah kelompok soaial untuk mengatur atau meregulasi dirinya sendiri melalui penyesuaian diri dan ketaatan terhadap norma kelompok untuk mempertahankan perintah atau keinginan kelompok social atau organisasi tersebut. Sangsi digunakan untuk memaksa menjalankan norma. Penghargaan atau reward adalah sangsi positif bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri terhadap norma yang belaku di kelompok sosial tersebut dan begitupun sangsi hukuman atau punishment digunakan terhadap mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di organisasi atau kelompok sosial tersebut.

Sosialiasi profesional meliputi pemaparan terhadap berbagai agen sosialiasi. Agen sosialisasi adalah orang yang memulai proses sosialisasi seperti anggota keluarga, guru, anak dari pemberi pelayanan, kelompok dan media masa.

Nilai-Nilai kritis dari Keperawatan Profesional.

Di dalam program pendidikan keperawatan seorang perawat mengembangkan, mengklarifikasi dan menginternalisasikan nilai-nilai professional. Nilai-nilai professional keperawatan yang spesifik dinyatakan dalam kode etik keperawatan dan standar praktek keperawatan. Watson (1981, dikutip oleh Kozier, Erb dan Blais, 1997) secara garis besar mengemukanan nilai-nilai kritis professional keperawatan:

1. Suatu komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada publik
Keperawatan adalah suatu bantuan dan pelayanan humanistic diarahkan terhadap kebutuhan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Peran perawat dalam hal ini berfokus pada kesehatan dan pelayanan keperawatan. Perawat bertangungjawab untuk mengkaji dan mempromosikan status kesehatan semua manusia, perlu menilai kontribusinya terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga care dan caring adalah pusat inti dan esensi dari keperawatan. Perawat juga perlu menilai aspek caring dari keperawatan.

2. Mengakui martabat dan menghargai setiap orang
Karena profesi keperawatan yang berorientasi pada orang, suatu pengakuan dasar dan penghargaan setiap orang berdasarkan nasionalitas, ras/ warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, kelas social dan status kesehatan merupakan dasar dalam keperawatan. Penerapan dalam praktik keperawatan berarti bahwa perawat selalu melakukan tindakan dengan perhatian baik bagi kliennnya.

3. Suatu komitment terhadap pendidikan
Hal ini berarti seorang perawat perlu melanjutkan pendidikan keperawatannya untuk mempertahankan dan memperluas tingkat kompetensi yang dimilikinya untuk memenuhi kriteria professional, mengantisipasi peran perawat dimasa yang akan datang dan memperluas body of professional knowledge. Perawat secara kritis harus mempertanyakan pengetahuan dan praktik keperawatnnya untuk mendorong dirinya berkontribusi dalam pengembangan dasar teori keperawatan dan mengetes teori tersebut dalam praktik keperawatan.

4. Otonomi
Otonomi diartikan sebagai hak untuk menentukan diri sendiri sebagai profesi. Watson menyatakan bahwa seorang perawat harus mempunyai kebebasan untuk menggunakan pengetahuannya dan ketrampilannya untuk kebaikan manusia dan kewenangan dan kemampuan untuk melihat pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang aman dan efektif.

Memulai Proses Sosialisasi Profesional Keperawatan.

Memulai sosialisasi berarti menyiapkan mahasiswa keperawatan untuk bekerja dilapangan pekerjaan yang sebenarnya. Beberapa model telah dikembangkan untuk menjelaskan memulai proses sosialisasi dalam peran professional. Setiap model merupakan suatu seperangkat rangkaian atau mata rantai kejadian, dimulai pada peran orang awam dan diakhiri dengan peran orang seorang professional

Model Simpson
Ida Harper Simpson (1967) secara garis besar membedakan menjadi 3 bagian dari fase sosialisasi professional. Fase yang pertama, seseorang berkonsentrasi dan menjadi cakap dalam tugas yang spesifik. Fase kedua, seseorang menjadi akrab dengan orang lain atau kelompok yang dilayani dalam bekerja. Fase ketiga, seseorang menginternalisasi nilai kelompok professional dan mengadopsi tingkah laku yang disyaratkan.

Model Hinshaw
AdaSue Hinshaw (1986) memberikan model umum sosialisasi professional menjadi 3 fase yang diadaptasi dari Model Simpson. Selama fase pertama, individu merubah image peran dari dari menyiapkan atau mengantisipasi konsep ke peran yang diharapkan dimana seseorang yang berada dalam tatanan pelayanan sesuai standar yang ada. Hinshaw mengatakan bahwa: (a) orang dewasa yang masuk dalam suatu profesi harus siap belajar sejumlah peran dan nilai yang membantu mereka mengevaluasi peran barunya, (b) individu ini secara aktif terlibat dalam proses sosialisasi, yang mengharuskan memilih peran baru yang diharapkan dan masuk dalam proses sosialisasi.

Fase kedua mempunyai dua komponen: (a) belajar mengakrabkan diri dengan orang lain dalam suatu system dan pada saat yang sama (b) mereka melabel situasi yang tidak sesuai antara peran yang diantisipasinya dan yang ditunjukan oleh orang lain.Dalam proses memlulai proses sosialisasi professional, orang lain yang disini biasa kelompok di fakultas, ditatanan pekerjaan, mereka memilih sejawat tertentu. Hinshaw mwnwkankan pentingnya modelperan yang tepat baik di saat program pendidikan dan ditatanan pekerjaan. Pada tahap ini, seseorang dapat mengungkapkan bahwa tingkah laku peran yang diinginkan tidak sama dengan apa yang telah diantisipasinya. Ini merupakan suatu tahap dimana sering menyebabkan reaksi emosial yang kuat kepada seperangkap peran yang diharapkan yang ternyata terjadi konflik dengan apa yang diantispasinya. Resolusi konflik yang sukses sangat tergantung pada keberadaan model peran yang mendemontrasikan tingkah laku yang tepat dan menunjukan bagaimana standar system konflik dan nilai dapat diintegrasikan.

Pada fase ketiga, seseorang menginternalisasikan bila dan standar dari peran yang baru. Derajat nilai dan standar yang di internalisasikan sangat bervariasi.Kelman (1961) mendefinisikan tiga tingkat orientasi nilai. Seseorang dapat mendemontrasikan salah satu atau keseluruhan tiga tingkatan ini.
 Pemenuhan (compliance). Seseorang menunjukan tingkah laku yang diharapkan untuk mendapatkan reaksi yang positif dari orang lain tetapi tidak menginternalisasi nilai tersebut. Memenuhi tingkah laku yang diharapkan dapat berkurang jika respon positif yang diberikan tidak lama.
 Identifikasi (identification). Seseorang secara selektif mengadopsi tingkah laku peran yang spesifik yang diterima semua orang. Seseorang hanya menerima tingkahlaku yang diharapkan dari pada menerima nilai secara keseluruhan. Tingkah laku identifikasi biasanya berubah jika orang yang menjadi model peran juga berubah.
 Internalisasi (internalization). Seseorang percaya dan menerima standardari peran barunya. Standar tersebut menjadi salah satu bagian dari suatu system nilai seseorang.

Model Davis
Fred davis (1966) menggambarkan enam tahapan proses doktrin pada mahasiswa keperawatan.

Tahap pertama: Kemurnian awal (initial innoncence). Saat mahasiswa masuk dalam suatu program professional, mereka mempunyai suatu image apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan bertindak atau bertingkah laku. Mahasiswa keperawatan biasanya masuk pada suatu program pendidikan dengan orientasi pelayanan dan berharap melihat seseorang setelah mengalami sakit. Sementara itu, pengalaman pendidikan biasanya akan berbeda dengan apa yang mahasiswa keperawatan harapkan. Selama fase ini, mahasiswa mengalami kekecewaan dan frustrasi terhadap pengalaman yang dialaminya dan mungkin mereka bertanya tentang nilai atau keyakinan dirinya.

Tahap kedua: Melabel ketidakcocokan yang ditemukan (labeled recognition of incongruity). Pada fase ini mahasiswa memulai mengidentifikasi, mengartikulasi dan membagi masalahnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya. Mereka akan membentuk kelompok dan membagi masalahnya dalam kelompok tersebut.

Tahap ketiga dan keempat: Penjiwaan dan stimulasi peran (Psyching out and role stimulation). Inti dari tahap ini, kerangka dasar kognitif untuk menginternalisasi nilai-nilai professional keperawatan memulai tertanam. Mahasiswa mulai mengidentifikasi tingkah laku dimana ia dapat diterima dan menunjukan hal tersebut serta mencari model peran dan mempraktikan tingkah laku tersebut. Dalamistilah yang digunakan oleh Davis adalah psyching out (penjiwaan). Hal ini akan lebih efektif jika stimulasi peran dilakukan, dan lebih baik lagi jika seseorang tersebut mempercayai tingkah laku tersebut dan hal ini merupakan bagian dari orang tersebut. Tetapi, terkadang mahasiswa merasakan ia sedang “memainkan suatu permainan” dan merasa “tidak benar untuk dirinya” sehingga mengakibatkan perasaan bersalah dan asing.

Tahap kelima: Internalisasi sementara (provision internalization). Pada tahap kelima ini, mahasiswa bimbang antara komitmen terhadap image yang mereka buat tentang keperawatan dan kinerja tingkah laku barunya terhadap image professional. Faktoryang akan meningkatkan image baru mahasiswa adalah suatu peningkatan kemampuan untuk menggunakan bahasa professional dan suatu peningkatan identifikasi dengan role model professional.

Tahap kelima: Internalisasi stabil (Stable internalization). Dalam tahap keenam, tingkah laku mahasiswa keperawatan mencerminkan model pendidikan dan professional yang dapat diterima oleh pofesi. Bagaimanapun, penyiapan mahasiswa pada tatanan kerja hanya merupakan proses sosialisasi. Nilai baru dan tingkahlaku akan dibentuk lagi ditempat kerja. Banyak faktor yang dapat menfasilitasi proses sosialisasi. Faktor tersebut adalah:
 Kejelasan dan consensus dimana occupan dan aspiran (mahasiswa) menerima atau merasakan peran dan posisinya.
 Derajat kecocokan dengan seperangkat peran yang ada termasuk pada semua orang yang terlibat seperti staf perawat, kepala ruangan, doter, klien dan keluarganya serta kerabatnya.
 Pembelajaran yang dilakukan sebelum memasuki pada posisi tertentu
 Kemampuan seseorang yang sedang melakukan sosialisasi untuk memanage proses sosialisasi.
 Model peran yang mendemontrasikan karakteristik yang diharapkan dan dapat meningkatkan internalisasi suatu kualitas peran yang dikaguminya.
 Orientasi yang dikembangkan dengan baik atau program intensif yang mungkin melibatkan preceptor (misalnya guru/ dosen)
 Dukungan kelompok terhadap orang baru untuk berbagi masalah tentang posisi yang baru.
Readmore »»

Wednesday, June 27, 2007

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Oleh: Ns. Maridi M. Dirdjo. M.Kep. & Bidan Emy S. Maridi


Pendahuluan
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau dysfunctional uterine bleeding (DUB) merupakan penyebab tersering perdarahan vagina abnormal pada seorang wanita usia produktif. Diagnosis PUD ditegakkan hanya bila penyebab organik atau struktural penyebab perdarahan vagina dapat disingkirkan (Dodds & Sinert, 2001).

Perlu dibedakan antara Perdarahan uterus disfungsional (PUD) dengan perdarahan uterus abnormal (PUA) lainnya. PUA mempunyai penyebab yang bervariasi, beberapa diantaranya memang tidak berbahaya. Tetapi jika PUA ini berhubungan dengan perubahan hormonal yang secara langsung mempengaruhi siklus menstruasi, kondisi ini disebut dengan PUD (Ayer dan Lappin & Liptok). PUD dikarakteristikan perdarahan yang lama dan banyak dengan atau tanpa diselingi penghentian perdarahan (Vilos, Lefebvre & Graves, 2001).

Pengertian
Perdarahan uterus disfungsi (PUD) adalah suatu perdarahan pervagina yang terjadi selama siklus menstruasi dimana terjadi perubahan hormonal dengan atau tanpa ovulasi (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diases 4 Mei 2005; Ayers, Lappin & Liptok).

Etiologi dan Faktor Risiko
PUD adalah diagnosa ekslusi, yang artinya baru bisa ditentukan setelah penyebab perdarah uterus abnormal yang lain (seperti penyakit sistemik, obat-obatan, kelainan awal kehamilan, gangguan makan, infeksi ginekologi, kelainan struktural atau tumor) telah dapat disingkirkan.

Siklus dimana tidak terjadi ovulasi berhubungan dengan berbagai manifestasi perdarahan. Perdarahan putus estrogen (estrogen withdrawal bleeding) dan perdarahan karena penghentian sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding) adalah penyebab yang sering diketemukan di klinik. Perdarahan yang diinduksi oleh tidak terjadinya ovulasi sering terjadi selama pengobatan konstrasepsi oral, pemberian obat progestin saja, atau terapi pengganti steroid pada postmenopause.

Pada perndarahan karena penghentuan sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding), terjadi siklus tidak ovulasi sehingga tidak terbentuk korpus luteum. Progesteron tidak diproduksi. Endometrium secara terus menerus mengalami proliliferasi dibawah pengaruh estrogen yang tidak ada lawannya (yaitu progesteron). Akhirnya perdarahan yang tidak teratur yang mungkin lama dan berat. Pola ini dikenal dengan estrogen breakthrough bleeding dan terjadi dalam keadaan estrogen yang tidak pernah turun.

Pada perdarahan akibat diputusnya terapi estrogen. Ini biasanya pada wanita ada fase akhir dari kehidupan produktifnya. Pada wanita yang tua, lamanya rata-rata siklus menstruasi memendek disebabkan oleh karena fase proliferasi yang memendek. Ovarium pada wanita tua ini mensekresi lebih sedikit estradiol. Turun naiknya kadar estradiol menyebabkan proliferasi endometrium yang tidak cukup dengan terjadinya pengeluaran dara menstruasi yang tidak teratur. Perdarahan yang dialami oleh wanita tua ini biasanya spotting ringan dan tidak teratur.

Perdarahan yang terjadi akibat pemberian obat kontrasepsi oral, sediaan obat progestin saja, dan terapi steroid pengganti pada wanita postmenopause berhubungan dengan perdarah uterus yang diinduksi secara iatrogenik. Perdarahan akibat penghentian sementara progesteron terjadi dalam keadaan dimana rasio yang tinggi progestin terhadap estrogen. Perdarahan yang intermiten dengan durasi yang bervariasi dapat terjadi padapasien yang mendapat terapi dengan sediaan kontasepsi orang yang hanya berisikan progrestin saja, depo-medroxyprogesteron dan depo-levonogestrel.

PUD sering terjadi pada tahun pertama setelah menache (periode mens pertama) dan pada wanita yang mendekati menopause (berhentinya peride menstruasi). Sekitar 20 % PUD pada masa remaja (adolescent) dan 40 % pada wanita yang lebih dari 40 tahun, sisanya terjadi pada wanita yang obesitas, wanita olah ragawan berat, dan wanita yang mengalami stress emosional (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005).

Wanita usia remaja (biasanya kurang dari 20 tahun) dan wanita yang berumur lebih dari 40 tahun berisiko terjadi PUD karena kelompok ini terjadinya awal dan akhir dari kehidupan reproduksinya, sehingga sering terjadi ketidakseimbangan hormonal dan sering tidak terjadi ovulasi. Wanita yang obesitas berisiko terjadi PUD karena yang terlibat dalam ovulasi tidak dapat menggunakan dengan mudah tumpukan lemak yang ada. Pada wanita dengan olah raga yang berat sering terjadi PUD karena mereka tidak mempunyai cukup lemak tubuh untuk membentuk hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi. Stress dapat meningkatkan ketidakseimbangan hormonal termasuk hormonal yang terlibat dalam peristiwa ovulasi.

Karena PUD merupakan diagnosis inklusi, maka penyeban PUD yang lain harus disingkirkan. Penyebab perdarahan vagina lainya yang harus disingkirkan misalnya patologi organ multipel yang meliputi: trombositopenia, hipothyroid, hiperthyroid, penyakit hati, hipetensi, diabetes melitus dan kelainan kelenjar adrenal. Kehamilan juga dapat meyebabkan perdarahan vagina. Trauma pada serviks, vulva atau vagina dapat menyebabkan perdarahan abnormal. Karsinoma pada vagian, servik, uterus dan ovarium harus menjadi pertimbangan jika didapati perdarahan abnormal pervagina. Perdarahan abnomal dapat terjadi juga pada kelaianan struktural seperti kistaovarium, servisitis, endometritis, salpingitis, dan leiomyomas. Penyakit polikistik ovarium, infeksi vagina, polip vagina, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, diskrasia darah, obesitas dan olahraga berat serta stress dapat meningkat terjadinya perdarahan abnormal.

Fisiologi Mentruasi
Untuk mengerti lebih mendalan tentang perdarah uterus abnormal termasuk didalamnya PUD, ada baiknya kita meninjau ulang siklus mentruasi yang normal. Kelenjar pituitari (hipofise) mensekresi follicle stimulating hormone (FSH) yang merangsang uterus untuk mematangkan sel telur di dalam suatu folikel dan untuk memulai produksinya estrogen. Adanya estrogen menyebabkan lapisan uterus terjadi proliferasi.

Pada saat kadar estrogen mencapai puncaknya, kelenjar pituitari mengeluarkan Luteinizing hormone (LH), yang merangsang folikel untuk mengeluarkan sel telur. Folikel tadi sekarang disebut dengan korpus luteum, memulai memproduksi progesteron untuk membuat lapisan pada uterus (endometrium) yang digunakan untuk persiapan implantasi sel telur di uterus. Empat belas hari setelah sel telur dikeluarkan kadar progesteron menurun secara dramatis. Menstruasi terjadi jika sel telur tidak difertilisasi.

Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21 – 35 hari dengan lama menstruasi 2 – 7 hari. Darah yang hilang selama siklus mentruasi normal ini sekitar 30 – 80 cc, dengan darah yang keluar agak banyak selama 2 hari. Menorraghia adalah istilah pengeluaran darah/ perdarahan yang berlebihan dalam suatu interval normal. Metrorrahgia adalah perdarahan atau mentruasi yang tidak teratur atau terlalu sering. Menometrorraghia adalah perdarahan atau mentruasi yang berlebihan pada interval yang tidak teratur.

Patofisiologi
Sekitar 90% dari PUD terjadi akibat anovulasi dan sekitar 10% yang terjadi bersama dengan siklus ovulasi. Selama siklus tidak ovulasi (anovulatiry), korpus luteum gagal dibentuk, yang menyebabkan kegagalan dalam memelihara siklus sekresi progesteron yang normal. Hal ini mengakibatkan berlanjutnya produksi estradiol yang tanpa penghambat, sehingga terjadi pertumbuhan yang berlebihan pada endometrium. Tanpa progesteron , endometrium berproliferasi dan akhirnya terjadi kekurangan suplai darah, yang menyebakan nekrosis dan akhirnya terjadi menstruasi yang banyak.

Pada PUD ovulasi, pemanjangan produksi progesteron menyebabkan peluruhan endometrium yang tidak teratur. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kadar estrogen yang rendah secara konstan yang ada disekitar tempat perdarahan. Hal ini menyebabkanbagian endometrum mengalami degenrasi dan menghasilkan spotting. Progesterol menyebabkan perubahan enzimatik dari estradiol menjadi estron, suatu estrogen yang kurang kuat. Akhirnya hanya terjadi PUD yang ringan.

Riwayat Kesehatan, tanda dan gejala
Riwayat kesehatan pasien harus didapatkan untuk mendapatkan data yang mendukung adanya PUD. Pasien diduga mengalami PUD jika pasien mengalami perdarahan banyak atau sedikit meskipun hasil pemeriksaan panggul normal. Riwayat reproduksi harus selalu digali, termasuk hal-hal berikut: keteraturan menstruasi, periode menstruasi terakhir termasuk banyaknya dan lamanya, riwayat kehamilan dan melahirkan, riwayat abortus sebelum atau riwayat pengakhiran kehamilan yang terakhir, kontrasepsi yang digunakan. Pertanyaan tentang riwayat medis meliputi: penyakit diabetes melitus, hipertensi, hipothyroidisme, hiperthyroidisme, penyakit hati dan penggunaan obat-obatan seperti antikoagulan, aspirin, antikonvulsan, dan antibiotik.

Pasien sering mengeluh aminorea, oligomenorea, menoragia ata metroragia. Tanykan pada pasien perbandingan jumlah pembalut atau tampan yang digunakan perhari dengan pada saat keadaan siklus menstruasi yang normal. Seringkali, perdarahan yang banyak diikuti dengan tanda dan gejala hipovolemia yang meliputi hipotensi, takikardia, diaporesis (keringat banyak) dan pucat. Pasien biasanya tidak merasakan nyeri dikaitan dengan perdarahan yang terjadi dan simptom sistemik jarang dijumpai kecuali pada perdarahan vagina karena penyebab organik.
Pemeriksaan fisik dimulai yang diarahkan pada status volume cairan tubuh pasien dan derajat anemia pasien. Periksa adanya kepucatan terutama pada konjuntiva, tangan dan bibir. Pasien yang mempunyai hemodinamik yang stabil dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan speculum dan pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan penyebab perdarahan vagina klien. Pemeriksaan harus melihat hal-hal berikut: trauma, benda asing, laserasi pada vagina atau servik atau perdarahan dari uterus. Abnormalitas struktural pada uterus atau ovarium harus dicatat pada pemeriksaan bimanual.

Pasien dengan patologi hematolgi biasanya mengalami perdarahan dibawah kulit. Temua fisik biasanya meliputi petekia, purpura, dan perdarah mukosa mulut atau perdarahan gusi merupakan tanda tambahan selain terjadinya perdarahan pervagina. Pasien dengan penyakit hati biasanya memberikan simptom tambahan seperti spider angioma, palmar eritema, splenomegali, asites, jaundis (kuning) dan asteriksis.

Wanita dengan penyakit ovarium polikistik biasanya bersama dengan tanda hiperandrogenisme yang meliputi: hirsutisme, obesitas dan pembesaran ovarium yang dapat dipalpasi. Thyroid yang hiperaktif atau hipoaktif dapat menjadi penyebab ketidakteraturan mentruasi. Pemeriksaan diarahkan pada kelenjar thyroid. Disamping itu pada pasien hiper atau hipothiroid dapat menunjukan tanda gejala tertentu. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk menegtahui adanya exopthalmus, tremor, perubahan tekstur kulit (biasanya lebih kasar), termasuk adanya peningkatan atau penurunan berat badan. Bianya ditemukan adanya Goiter pada leher pasien

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, serum HCG (untuk menyingkirkan adanya kehamilan), tes fungsi thyroid terutama pemeriksaan hormon regulasi: seperti prolatin, kadar androgen, FSH dan LH.

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah biopsi endometrium, Dilatasi dan curetage (D & C), USG panggul dan hysteroskopi.

Pengobatan
Pemilihan pengobatan sangat tergantung pada penyebab, beratnya perdarahan dan status fertilitas pasien, kebutuhan terhadap obat kontrasepsi oleh pasien dan fasiltas pengobatan atau tindakan yang tersedia ditempat tersebut (Mayeaux, 2000).

Pada kasus perdarahan yang akut, berat dan tidak terkontrol dapat ditangani dengan estrogen intravena. Pil kontrasepsi oral dapat diberikan pada pasien yang mengalami PUD yang sedang. Jika pasien dalam keadaan mengkonsumsi pil kontrasepsi oral (PKO) tetapi mengalami PUD, ganti PKO dengan yang mengandung estrigen lebih tinggi. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah medroxyprogesterone (provera), obat antiinflamasi non steoid, danazol (danocrine), dan agonis GnRH gosrelin asetat (Zoladex), Leuprolide asetat (Lupron) atau nafarelin asetat (Syneral). Tindakan pembedahan meliputi: dilatasi dan Curetage (D & C), ablasi endometrial, hysteroskopik transcervical resection endometrium atau hysterektomy. Pilihan yang relatif efektif menjadi pertimbangan.

Prognosis
Regulasi hormonal biasanya berhasil menurunkan simptom. Induksi ovulasi pada wanita yang menginkan kehamilan mempunyai kesuksesan pada 80% kasus (http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005)

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PUD ini adalah:
Infertilitas sebagai akibat dari tidak terjadinya ovulasi
Anemia berat sebagai akibat perdarahan menstruasi yang banyak dan lama
Lamanya terbentuknya lapisan uterus mungkin sebagai faktor berkembangnya menjadi kanker endometium



SUMBER RUJUKAN


Ayers, D.M., Lappin, J.E.S, & Liptok, L.M., Abnormal vs dysfunctional uterine bleeding¸ What’s difference? A guide to women’s health.

Dodds, N., & Sinert, R., Dysfunctional uterine bleeding, http://www.emedicine.com/%20topic155.htm, diakses 4 Mei 2005.

Desease- Dysfunctional uterine bleeding (DUB), http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005.

Mayeaux, E.J., (2000). Dysfunctional uterine bleeding, dalam Guideline for managing Dysfunctional uterine bleeding, Mamsi health Plans. http://www.mamsi.com/

Queenan, J.T., & Whitman-Elia, G., Last Update (20 Desember 2004) Dysfunctional uterine bleeding, http://www.emedicine.com/med/topic2353, diakses 4 Mei 2005

Vilos, G.A., Lefebvre, G., & Grave, G.R., (august, 2001). Guidelines for the management of abnormal uterine bleeding. SOGC Clinical Practice Guidelines No. 106. august 2001 Readmore »»

Kritik dan Saran

SILAHKAN ISI SARAN ATAU PERTANYAAN ANDA...!


Nama
E-mail
Homepage Anda
Komentar/saran








Readmore »»